Selasa, 08 Oktober 2013

Mengelola marah secara proaktif (makalah ini dimuat di Kedaulatan Rakyat)






Mengelola marah secara proaktif

Oleh: Aris Priyanto*

Akhir-akhir ini budaya marah semakin marak dan semakin menjadi sajian berita di media cetak maupun maupun elektronik. Sajian berita seperti kekerasan, sadisme, dan tindakan brutal, lebih menyita emosi atau perasaan kita daripada menambah pengetahuan. Ironisnya tindak kekerasan juga merambah di dunia pendidikan, yaitu kasus pemukulan oleh oknum guru terhadap siswanya (Kedaulatan Rakyat, 2013). Message atau pesan  dari berita, terutama tayangan televisi, yang menyangkut hal-hal negatif di atas jelas mempunyai dampak yang tidak sehat bagi kenyamanan hidup karena hal tersebut  menjadi konsumsi rohani yang tak sehat. Setidak-tidaknya berita ataupun tayangan tersebut menciptakan suasana mencemaskan, meningkatkan kecenderungan kita untuk sress karena kerja hormon adrenalin bertambah.
            Kita tidak mengingkari bahwa rasa marah, baik yang terekspresi maupun yang tidak, adalah bagian dari dimensi perilaku manusia. Oleh karenanya banyak dibahas oleh  para bijak dan cerdik pandai sejak ribuan tahun yang lalu. Tentang marah ini Aristotle, filosof Yunani ribuan tahun yang lalu, pernah mengatakan:”Anyone can become angry-that is easy. But to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for the right purpose, and in the right way – that is not easy. Jika kita perhatikan lebih lanjut, kita merasakan ucapan Aristotle ini seolah-olah sebagai gambaran adanya kecenderungan pada setiap diri kita untuk marah. Setiap orang bisa melakukannya. Tetapi marah akan menjadi pasal yang tidak mudah jika kita harus mempunyai sasaran orang yang tepat (pantas) yang kita marahi, cara marahnya tepat, dalam porsi yang seimbang serta tepat waktu.
            Nabi Allah Muhammad SAW mempunyai pandangan tentang marah, dan lebih bersifat preventif. Beliau menganjurkan kita ”mengelola” marah secara proaktif.  
          Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau melihat seorang lelaki mendekat kepada Rasul Saw dan berkata: “Berikanlah aku wasiat wahai Rasul!”  Rasul menjawab:” Laa Taghdhob!” (Jangan marah!”). Beliau mengulang-ulang terus perkataan ini. Dari hadist ini jelaslah bahwa sifat suka marah atau ekspresi rasa marah sebagai suatu yang oleh Rasul SAW. tidak disukai.dan sebaiknya kita berupaya untuk menghindari, meskipun di dalam kenyataan kehidupan banyak sekali sumber atau kejadian yang menimpa diri kita yang membuat kita marah.
            Marah seringkali merupakan produk dari berbagai situasi yang menyangkut kondisi emosi kita. Di dalam kehidupan sosial, terutama di keluarga, mungkin kita jumpai ekspresi marah yang bersifat membangun Hal ini terjadi pada hubungan antara orangtua dan anak, yang tujuannya untuk kebaikan anak dan menegakkan disiplin ataupun moralitas. Dari sisi pandang anak mungkin apa yang dikatakan orangtuanya dianggap sebagai ekspresi rasa marah. Tetapi orangtua melihatnya sebagai solusi terbaik atau nasihat. Kesemuanya kembali kepada hati nurani dan cara mengekspresikan atau menyampaikan perasaan tidak setuju atau kurang sepaham. Yang jelas, kemarahan membangun di dalam hubungan orangtua dan anak harus dilandasi oleh cinta kasih, tidak ada unsur kebencian.
            Apa yang dinasihatkan oleh Rasul SAW. di atas adalah sifat marah yang dilandasi oleh perasaan benci. Dia akan menghasilkan kemarahan yang bersifat destruktif atau merusak. Pertanyaan kita siapa yang merusak dan siapa yang dirusak? Jawaban kita: Keduanya rusak, baik yang kena marah maupun yang memarahi. Mengapa demikian?
            Marah adalah produk dari berbagai kondisi kejiwaan seseorang. Bisa karena stress berat, frustrasi yang berkepanjangan, karena peristiwa yang menyangkut harga diri. Apapun sumber atau penyebabnya yang jelas orang mengeluarkan enerji pada saat dia marah, dan ini secara psikologis dan rohaniah melelahkan. Anda boleh mengamati hal ini pada diri sendiri. Jika pada pagi hari Anda marah dengan seseorang, kemarahan yang tampak pada ucapan yang bernada keras, kata-kata yang tidak “enak” dan ekspresi wajah yang menunjukkan kebencian, maka kemungkinan besar Anda menjalani hari itu dengan perasaan galau dan tidak nyaman. Tak ada kesimpulan atau komentar selain Anda merasakan kerugian, mungkin juga perasaan kesal yang berkepanjangan, apalagi jika masalah atau tujuan yang ingin Anda capai dengan cara marah ini tidak diperoleh. Selain itu kerugian ini juga dirasakan oleh orang yang menjadi sasaran kemarahan Anda. Masih baik jika orang ini mau mengakui kesalahan yang Anda tuduhkan, atau mau memahami penyebab kemarahan Anda. Keadaan ini belum tentu tidak menggores perasaan orang bersangkutan. Setidak-tidaknya pada saat  tertimpa kemarahan Anda, suasana hatinya tidak nyaman dan kemungkinan dia menganggap Anda telah menggores harga diri atau ego-nya
            Marah seringkali dilawankan dengan sifat penyabar, dan dikaitkan juga dengan lepasnya kendali akal dan emosi. Kerapkali kita dengar orang mengatakan: “ Saya sudah kehilangan kesabaran.” Ucapan seperti ini rasanya mengandung arti, “saya sudah tidak mampu mengendalikan kemarahan.” Ada kutipan dari Imam Ja’far As-Shiddiq tentang kecenderungan marah:” Marah adalah penghapus hati yang bijak. Barang siapa tidak mampu mengendalikan kemarahannya, maka dia tidak mampu menjalankan akalnya.”
            Sebagai enerji, marah ini  adalah kekuatan yang dimiliki oleh manusia. Kekuatan ini memberikan kepada manusia kemampuan untuk menolak dan menyalahkan, dan mungkin juga nafsu untuk menyudutkan seseorang. Kerapkali kita jumpai orang yang marah,  bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk merasa “menang”. Kekuatan marah yang sering mengalahkan emosi, dapat diibaratkan sebagai mesiu yang meledak-ledak, menjadikan perasaan dan mungkin juga fisik sebagai sasaran.
            Dari segi kesehatan, menurut kawan-kawan dokter, marah bukanlah suatu keadan yang wajar. Dia akan mengganggu keseimbangan tubuh, melemahkan syaraf, berpengaruh buruk terhadap jantung, dan menaikkan tekanan darah serta menegangkan sel-sel tubuh. Dampak dari kemarahan yang kompleks ini cukup menjadi alasan yang kuat untuk “mengelola” marah, atau tepatnya cara mengobati marah.
             Dalam buku Hadits Arba’in Nawawiyah dikemukakan cara mengobati marah, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Hendaknya orang yang cenderung mudah marah ingat betul akibat yang ditimbulkan oleh kemarahannya
2.    Hendaknya orang mengingat-ingat keutamaan sifat ramah, sabar dan berlatih menahan marah. Hal ini harus dimulai dengan kesadaran bahwa dia cenderung suka marah.
3.    Hendaknya mohon perlindungan dari Allah terhadap gangguan syaitan
4.    Jika dalam keadaan atau suasana hati yang “mendidih”, hendaknya dia mandi atau berwudhu
5.    Dalam suasana hati yang marah hendaknya duduk, jangan berdiri
6.    Hendaknya mengingat keagungan Allah SWT, sadar bahwa kasih sayang Allah kepada hambanya tak terbatas.

            Selain resep yang syar’i di atas ada juga sebuah cara mengobati orang yang suka marah, sebuah cara yang sufistik, dituturkkan oleh Siti Nurhayati (Republika, 2002). Seorang ayah ingin mengobati anaknya lelaki yang suka marah. Untuk itu ia memberikan sekantong paku kepada anaknya, Disuruhnya anak itu memakukan sebuah paku di pagar kayu di belakang rumah, setiap kalai dia marah kepada seseorang. Hari pertama si anak melapor kepada bapaknya bahwa dia telah memaku sebanyak tujuh puluh dua kali. Berarti hari itu dia sudah marah tujuh puluh dua kali. Setiap hari dia memakukan paku di pagar.  Secara bertahap jumlah yang dipakukan itu berkurang .
            Akhirnya tiba waktunya si anak merasa telah mampu menahan kemarahan dan tidak kehilangan kesabaran, dan perubahan ini ia sampaikan kepada sang ayah; telah ada perubahan pada dirinya. Kemudian ayahnya menyuruh dia mencabut paku satu per satu setiap hari yang dilaluinya tanpa ada rasa marah.
            Hari-hari berlalu, dan si anak memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah dia cabuti. Menyaksikan semua paku di pagar telah tercabut, dan sambil menuntun anaknya melihat lubang bekas paku dipagar, sang ayah berkata:” Kau telah berhasil anakku, Tetapi cobalah kau lihat lubang bekas paku di kayu ini. Pagar kayu ini tidak akan mulus seperti semula.”Paku yang kau pakukan ke pagar kayu, sama seperti kata-kata marah yang kau ucapkan kepada orang lain. Kata-katamu akan meninggalkan bekas di hati orang yang kau marahi, seperti lubang bekas paku di pagar kayu ini. Engkau dapat menusukkan pisau ke tubuh seseorang sehingga luka, kemudian kau cabut. Meskipun kau sudah minta maaf, luka di tubuh orang tadi tetap ada. Kata-katamu yang kasar karena sedang marah kepada orang tadi, sama buruknya dengan luka fisik akibat tusukan, meskipun luka psikologis akibat kata-kata memng tak tampak, tetapi sangat terasa”. Demikianlah anakku, di dalam berbicara kita dituntut dua hal, yaitu benar dan baik. Benar berarti kandungan atau isi yang dibicarakan selalu dalam koridor syari’at, norma dan moral. Sedangkan baik berarti cara bicara kita upayakan untuk tidak menimbulkan luka di hati lawan bicara kita.”
            Tampaknya menahan perasaan marah dan belajar bersabar merupakan dua sisi dari sebuah lembaran. Menumbuhkan sikap sabar pada diri kita memang perlu latihan. Kita harus memaksa diri untuk bersikap sabar, mendidik dan melatih diri untuk bisa menahan dan mengendalikan rasa marah. Memang terkadang terasa sulit bagi kita. Namun jika dilakukan berulangkali, maka sedikit demi sedikit akan tumbuh sikap sabar pada diri kita, dan sifat sabar di dalam menghadapi keadaan yang mengganggu perasaan akan menjadi kebiasaan kita. Rasulullah Saw bersabda:” Kebaikan itu tumbuh karena kita biasakan.”  Kebiasaan berbuat baik akan mengasah hati kita menjadi lembut yang dapat mengarahkan perilaku kita ke kearifan. Cara yang mulia berlatih menuju ke kearifan adalah menjaga lidah atau ucapan, demikian kata orang-orang bijak. Manusia dituntut untuk menggunakan lidahnya sesuai waktu, dengan cara yang baik, dan pada tempatnya. Tentang lidah ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ke Imanan dan ke Kufuran tiada terang dan jelas selain dengan kesaksian lidah, dan anggota tubuh yang paling ”durhaka” kepada manusia adalah lidah. Boleh jadi karena inilah kita mempunyai kutipan ”lidah tak bertulang” Para sufi menasihatkan kita berlatih mengontrol lidah, agar bagian tubuh yang ”mungil” tidak menguasai akal. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat contoh –contoh perilaku orang yang lidahnya menguasai akal, mereka tidak menaruh perhatian pada lidah dan tidak mampu mengontrolnya. Para psikolog menganggap  mereka sebagai orang-orang yang bermasalah dengan diri sendiri. Hal ini dapat kita tengarai dengan kebiasaan mereka memaki, mengumpat, menjelekkan orang lain dengan membanggakan diri berlebihan. Pandangan sufistik juga mengatakan bahwa menjaga lidah merupakan upaya untuk berlatih sabar.
            Selain berlatih sabar, dianjurkan juga kepada kita untuk mempelajari perjalanan hidup orang-orang yang sabar dan bijaksana. Hal ini mempunyai peranan yang penting di dalam menjadikan diri seseorang bersifat sabar. Mengenai sabar, ada sebuah bait syair yang dinisbathkan kepada Ali Bin Abi Thalib as, yang berbunyi
Bersabarlah dari lelahnya bangun di malam hari, dan dari pulang pergi mencari
kebutuhan dan kemuliaan hidup
Jangan bosan, dan jangan menarik diri, karena keberhasilan terlipat
Diantara kegagalan dan kebosanan
Aku dapatkan di dalam hari-hari menjalani hidup, pengalaman dan kesabaran
Memiliki akibat yang terpuji
Amat sedikit orang yang bersungguh-sungguh dalam urusan yang dicarinya, dan orang yang berteman dengan sabar tidak akan memperoleh apa-apa kecuali kemenangan.
             Ali Bin Abi Thalib AS. Adalah tokoh yang dikaruniai kecerdasan verbal yang luar biasa. Hal ini banyak terbukti pada sejarah kehidupan beliau bersama Nabi SAW dan setelah wafatnya. Kecerdasan dan kearifannya memberi inspirasi pada pemikiran  sufistik, terutama yang menyangkut sabar dan akal. Beberapa ucapan beliau menjadi landasan membina kesabaran dan kearifan dalam menggunakan akal.
             Tentang akal dan menjaga ucapan beliau mengingatkan:”Orang berakal adalah orang yang menjaga lidahnya dari perbuatan ghibah (menggunjing)”. Selain itu:” Orang berakal tidak berbicara kecuali karena sesuatu yang diperlukannya, atau karena mengutarakan argumentasi, dan dia tidak akan menyibukkan diri kecuali dengan hal-hal yang membawa kebaikan bagi kehidupan akhiratnya”.
            

Aris Priyanto* Guru Penjasorkes SMAN 1 Yogyakarta        


                                                                                      
                                                                                          

                                                                                                     








Tidak ada komentar:

Posting Komentar