Mengelola marah secara proaktif
Oleh: Aris Priyanto*
Akhir-akhir ini budaya marah semakin marak dan semakin menjadi sajian
berita di media cetak maupun maupun elektronik. Sajian berita seperti
kekerasan, sadisme, dan tindakan brutal, lebih menyita emosi atau perasaan kita
daripada menambah pengetahuan. Ironisnya tindak kekerasan juga merambah di
dunia pendidikan, yaitu kasus pemukulan oleh oknum guru terhadap siswanya (Kedaulatan
Rakyat, 2013). Message atau pesan dari berita, terutama tayangan televisi, yang
menyangkut hal-hal negatif di atas jelas mempunyai dampak yang tidak sehat bagi
kenyamanan hidup karena hal tersebut
menjadi konsumsi rohani yang tak sehat. Setidak-tidaknya berita ataupun
tayangan tersebut menciptakan suasana mencemaskan, meningkatkan kecenderungan
kita untuk sress karena kerja hormon adrenalin
bertambah.
Kita tidak mengingkari bahwa rasa marah, baik yang terekspresi maupun yang
tidak, adalah bagian dari dimensi perilaku manusia. Oleh karenanya banyak
dibahas oleh para bijak dan cerdik
pandai sejak ribuan tahun yang lalu. Tentang marah ini Aristotle, filosof
Yunani ribuan tahun yang lalu, pernah mengatakan:”Anyone can become angry-that is easy. But to be angry with the right
person, to the right degree, at the right time, for the right purpose, and in
the right way – that is not easy. Jika kita perhatikan lebih lanjut, kita
merasakan ucapan Aristotle ini seolah-olah sebagai gambaran adanya
kecenderungan pada setiap diri kita untuk marah. Setiap orang bisa melakukannya. Tetapi marah akan menjadi pasal yang tidak
mudah jika kita harus mempunyai sasaran orang yang tepat (pantas) yang kita
marahi, cara marahnya tepat, dalam porsi yang seimbang serta tepat waktu.
Nabi Allah Muhammad SAW mempunyai pandangan tentang marah, dan
lebih bersifat preventif. Beliau menganjurkan kita ”mengelola” marah secara proaktif.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, beliau melihat seorang lelaki mendekat kepada Rasul Saw dan
berkata:
“Berikanlah aku wasiat wahai Rasul!”
Rasul menjawab:” Laa Taghdhob!”
(Jangan marah!”). Beliau mengulang-ulang terus perkataan ini. Dari hadist ini jelaslah
bahwa sifat suka marah atau ekspresi rasa marah sebagai suatu yang oleh Rasul
SAW. tidak disukai.dan sebaiknya kita berupaya untuk menghindari, meskipun di
dalam kenyataan kehidupan banyak sekali sumber atau kejadian yang menimpa diri
kita yang membuat kita marah.
Marah seringkali merupakan produk dari berbagai situasi yang menyangkut kondisi
emosi kita. Di dalam kehidupan sosial, terutama di keluarga, mungkin kita
jumpai ekspresi marah yang bersifat membangun
Hal ini terjadi pada hubungan antara orangtua dan anak, yang tujuannya untuk
kebaikan anak dan menegakkan disiplin ataupun moralitas. Dari sisi pandang anak
mungkin apa yang dikatakan orangtuanya dianggap sebagai ekspresi rasa marah.
Tetapi orangtua melihatnya sebagai solusi terbaik atau nasihat. Kesemuanya
kembali kepada hati nurani dan cara mengekspresikan atau menyampaikan perasaan
tidak setuju atau kurang sepaham. Yang jelas, kemarahan membangun di dalam hubungan orangtua dan anak harus dilandasi oleh
cinta kasih, tidak ada unsur kebencian.
Apa yang dinasihatkan oleh Rasul SAW.
di atas adalah sifat marah yang dilandasi oleh perasaan benci. Dia akan
menghasilkan kemarahan yang bersifat destruktif
atau merusak. Pertanyaan kita siapa yang merusak dan siapa yang dirusak?
Jawaban kita: Keduanya rusak, baik yang kena marah maupun yang memarahi.
Mengapa demikian?
Marah adalah produk dari berbagai
kondisi kejiwaan seseorang. Bisa karena stress berat, frustrasi yang
berkepanjangan, karena peristiwa yang menyangkut harga diri. Apapun sumber atau
penyebabnya yang jelas orang mengeluarkan enerji pada saat dia marah, dan ini
secara psikologis dan rohaniah melelahkan. Anda boleh mengamati hal ini pada
diri sendiri. Jika pada pagi hari Anda marah dengan seseorang, kemarahan yang
tampak pada ucapan yang bernada keras, kata-kata yang tidak “enak” dan ekspresi
wajah yang menunjukkan kebencian, maka kemungkinan besar Anda menjalani hari
itu dengan perasaan galau dan tidak nyaman. Tak ada kesimpulan atau komentar
selain Anda merasakan kerugian, mungkin juga perasaan kesal yang
berkepanjangan, apalagi jika masalah atau tujuan yang ingin Anda capai dengan
cara marah ini tidak diperoleh. Selain itu kerugian ini juga dirasakan oleh
orang yang menjadi sasaran kemarahan Anda. Masih baik jika orang ini mau
mengakui kesalahan yang Anda tuduhkan, atau mau memahami penyebab kemarahan
Anda. Keadaan ini belum tentu tidak menggores perasaan orang bersangkutan.
Setidak-tidaknya pada saat tertimpa
kemarahan Anda, suasana hatinya tidak nyaman dan kemungkinan dia menganggap
Anda telah menggores harga diri atau ego-nya
Marah seringkali dilawankan dengan
sifat penyabar, dan dikaitkan juga dengan lepasnya kendali akal dan emosi.
Kerapkali kita dengar orang mengatakan: “ Saya sudah kehilangan kesabaran.”
Ucapan seperti ini rasanya mengandung arti, “saya sudah tidak mampu
mengendalikan kemarahan.” Ada kutipan dari Imam Ja’far As-Shiddiq tentang
kecenderungan marah:” Marah adalah penghapus hati yang bijak. Barang siapa
tidak mampu mengendalikan kemarahannya, maka dia tidak mampu menjalankan
akalnya.”
Sebagai enerji, marah ini adalah kekuatan yang dimiliki oleh manusia.
Kekuatan ini memberikan kepada manusia kemampuan untuk menolak dan menyalahkan,
dan mungkin juga nafsu untuk menyudutkan seseorang. Kerapkali kita jumpai orang
yang marah, bukan untuk menyelesaikan
masalah, tetapi untuk merasa “menang”. Kekuatan marah yang sering mengalahkan
emosi, dapat diibaratkan sebagai mesiu yang meledak-ledak, menjadikan perasaan
dan mungkin juga fisik sebagai sasaran.
Dari segi kesehatan, menurut
kawan-kawan dokter, marah bukanlah suatu keadan yang wajar. Dia akan mengganggu
keseimbangan tubuh, melemahkan syaraf, berpengaruh buruk terhadap jantung, dan
menaikkan tekanan darah serta menegangkan sel-sel tubuh. Dampak dari kemarahan
yang kompleks ini cukup menjadi alasan yang kuat untuk “mengelola” marah, atau
tepatnya cara mengobati marah.
Dalam buku Hadits Arba’in Nawawiyah
dikemukakan cara mengobati marah, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hendaknya orang yang cenderung mudah marah ingat betul
akibat yang ditimbulkan oleh kemarahannya
2. Hendaknya orang mengingat-ingat keutamaan sifat ramah,
sabar dan berlatih menahan marah. Hal ini harus dimulai dengan kesadaran bahwa
dia cenderung suka marah.
3. Hendaknya mohon perlindungan dari Allah terhadap gangguan
syaitan
4. Jika dalam keadaan atau suasana hati yang “mendidih”,
hendaknya dia mandi atau berwudhu
5. Dalam suasana hati yang marah hendaknya duduk, jangan
berdiri
6. Hendaknya mengingat keagungan Allah SWT, sadar bahwa
kasih sayang Allah kepada hambanya tak terbatas.
Selain resep yang syar’i
di atas ada juga sebuah cara mengobati orang yang suka marah, sebuah cara yang
sufistik, dituturkkan oleh Siti Nurhayati (Republika,
2002). Seorang
ayah ingin mengobati anaknya lelaki yang suka marah. Untuk itu ia memberikan
sekantong paku kepada anaknya, Disuruhnya anak itu memakukan sebuah paku di
pagar kayu di belakang rumah, setiap kalai dia marah kepada seseorang. Hari
pertama si anak melapor kepada bapaknya bahwa dia telah memaku sebanyak tujuh
puluh dua kali. Berarti hari itu dia sudah marah tujuh puluh dua kali.
Setiap hari dia memakukan paku di pagar. Secara bertahap jumlah yang dipakukan itu berkurang
.
Akhirnya tiba waktunya si anak
merasa telah mampu menahan kemarahan dan tidak kehilangan kesabaran, dan
perubahan ini
ia sampaikan kepada sang ayah; telah ada perubahan pada dirinya. Kemudian
ayahnya menyuruh dia mencabut paku satu per satu setiap hari yang dilaluinya
tanpa ada rasa marah.
Hari-hari berlalu, dan si anak
memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah dia cabuti. Menyaksikan semua paku
di pagar telah tercabut, dan sambil menuntun anaknya melihat lubang bekas paku dipagar,
sang ayah berkata:” Kau telah berhasil anakku, Tetapi cobalah kau lihat lubang
bekas paku di kayu ini. Pagar kayu ini tidak
akan mulus seperti semula.”Paku yang kau pakukan ke pagar kayu, sama seperti
kata-kata marah yang kau ucapkan kepada orang lain. Kata-katamu akan
meninggalkan bekas di hati orang yang kau marahi, seperti lubang bekas paku di
pagar kayu ini. Engkau dapat menusukkan pisau ke tubuh seseorang sehingga
luka, kemudian kau cabut. Meskipun kau sudah minta
maaf, luka di tubuh orang tadi tetap ada. Kata-katamu yang kasar karena sedang
marah kepada orang tadi, sama buruknya dengan luka fisik akibat tusukan,
meskipun luka psikologis akibat kata-kata memng tak tampak, tetapi sangat
terasa”. Demikianlah anakku, di dalam berbicara kita dituntut dua hal, yaitu benar dan baik. Benar berarti kandungan
atau isi yang dibicarakan selalu dalam koridor syari’at, norma dan moral.
Sedangkan baik berarti cara bicara kita upayakan untuk tidak menimbulkan luka di hati lawan bicara kita.”
Tampaknya menahan perasaan marah dan
belajar bersabar merupakan dua sisi dari sebuah lembaran. Menumbuhkan sikap
sabar pada diri kita memang perlu latihan. Kita harus memaksa diri untuk
bersikap sabar, mendidik dan melatih diri untuk bisa menahan dan mengendalikan
rasa marah. Memang terkadang terasa sulit bagi kita. Namun jika dilakukan
berulangkali, maka sedikit demi sedikit akan tumbuh sikap sabar pada diri kita,
dan sifat sabar di dalam menghadapi keadaan yang mengganggu perasaan akan
menjadi kebiasaan kita. Rasulullah Saw bersabda:” Kebaikan itu tumbuh karena
kita biasakan.” Kebiasaan berbuat baik
akan mengasah hati kita menjadi lembut yang dapat mengarahkan perilaku kita ke
kearifan. Cara yang mulia berlatih menuju
ke kearifan adalah menjaga lidah atau ucapan, demikian kata orang-orang
bijak. Manusia dituntut untuk menggunakan lidahnya sesuai waktu, dengan cara
yang baik, dan pada tempatnya. Tentang lidah ini, Imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa ke Imanan dan ke Kufuran tiada terang dan jelas selain dengan kesaksian
lidah, dan anggota tubuh yang paling ”durhaka” kepada manusia adalah lidah.
Boleh jadi karena inilah kita mempunyai kutipan ”lidah tak bertulang” Para sufi
menasihatkan kita berlatih mengontrol lidah, agar bagian tubuh yang ”mungil”
tidak menguasai akal. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat contoh
–contoh perilaku orang yang lidahnya menguasai akal, mereka tidak menaruh
perhatian pada lidah dan tidak mampu mengontrolnya. Para psikolog
menganggap mereka sebagai orang-orang
yang bermasalah dengan diri sendiri. Hal
ini dapat kita tengarai dengan kebiasaan mereka memaki, mengumpat, menjelekkan
orang lain dengan membanggakan diri berlebihan. Pandangan sufistik juga
mengatakan bahwa menjaga lidah merupakan upaya untuk berlatih sabar.
Selain berlatih sabar, dianjurkan
juga kepada kita untuk mempelajari perjalanan hidup orang-orang yang sabar dan
bijaksana. Hal ini mempunyai peranan yang penting di dalam menjadikan diri
seseorang bersifat sabar. Mengenai sabar,
ada sebuah bait syair yang dinisbathkan kepada Ali Bin Abi Thalib as, yang
berbunyi
Bersabarlah dari lelahnya bangun di malam hari, dan dari
pulang pergi mencari
kebutuhan dan kemuliaan hidup
Jangan bosan, dan jangan
menarik diri, karena keberhasilan terlipat
Diantara kegagalan dan
kebosanan
Aku dapatkan di dalam
hari-hari menjalani hidup, pengalaman dan kesabaran
Memiliki akibat yang
terpuji
Amat sedikit orang yang
bersungguh-sungguh dalam urusan yang dicarinya, dan orang yang berteman dengan
sabar tidak akan memperoleh apa-apa kecuali kemenangan.
Ali Bin Abi Thalib AS. Adalah
tokoh yang dikaruniai kecerdasan verbal yang
luar biasa. Hal ini banyak terbukti pada sejarah kehidupan beliau bersama Nabi
SAW dan setelah wafatnya. Kecerdasan dan
kearifannya memberi inspirasi pada pemikiran sufistik, terutama yang menyangkut sabar dan akal. Beberapa ucapan beliau menjadi landasan membina kesabaran dan
kearifan dalam menggunakan akal.
Tentang akal dan menjaga
ucapan beliau mengingatkan:”Orang berakal
adalah orang yang menjaga lidahnya dari perbuatan ghibah (menggunjing)”.
Selain itu:” Orang berakal tidak
berbicara kecuali karena sesuatu yang diperlukannya, atau karena mengutarakan
argumentasi, dan dia tidak akan menyibukkan diri kecuali dengan hal-hal yang
membawa kebaikan bagi kehidupan akhiratnya”.
Aris Priyanto* Guru Penjasorkes SMAN 1 Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar