Kamis, 11 Desember 2014

INTERNALISASI NILAI-NILAI OLAHRAGA MELALUI PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA DI SEKOLAH



INTERNALISASI NILAI-NILAI OLAHRAGA
MELALUI PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA(PENJASOR) DI SEKOLAH

Aris Priyanto
Pengawas SMA, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, aris_smasiji@yahoo.com

Dewasa ini dunia olahraga nasional menjadi sorotan tajam masyarakat. Berbagai kejadian menuai keprihatinan mulai dari prestasi olahraga Indonesia di Asian Games 2014 yang ”jeblok”, gagalnya Timnas U-19 di ajang piala Asia, meninggalnya atlet nasional balap sepeda karena kecelakaan saat latihan, sampai pada masalah-masalah di salah satu induk cabang olahraga sepak bola (PSSI), yaitu protes kepada wasit yang berlebihan, saling lempar kesalahan dan adanya tudingan mafia sepak bola, permainan kasar di lapangan yang jauh dari nilai-nilai olahraga, perkelahian antar pemain/suporter yang berujung pada tewasnya beberapa penonton, dan titik puncaknya pada kasus heboh yaitu ”sepak bola gajah” antara PSS Sleman vs PSIS Semarang.
 Jebloknya prestasi olahraga nasional dan banyaknya perilaku menyimpang dari para pelaku olahraga di tanah air yang tidak sesuai dengan nilai-nilai olahraga akhir-akhir ini mendorong berbagai pihak mempertanyakan efektivitas penanaman nilai-nilai olahraga  dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Sebagai salah satu pilar dari Tri Pusat Pendidikan, institusi sekolah memberi andil terhadap penanaman nilai-nilai olahraga karena dalam pembelajarannya ada tiga domain yang digarap yaitu, afektif, psikomotor dan kognitif.
Prestasi olahraga tidak akan berhasil tanpa didukung oleh sikap mental para pelaku olahraga. Nilai-nilai olahraga seperti antusias, sportivitas, fair play, tanggungjawab, peduli, jujur, profesionalisme, menganggap lawan sebagai sparing-partner harus diterapkan.  Character   building harus mulai ditanamkan sejak dini di bangku sekolah. Munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan untuk mencapai prestasi dunia menjadi tanggung jawab bersama. Dalam hal ini guru pendidkan jasmani memiliki peran utama sebagai agen perubahan (agent of change) untuk melaksanakan internalisasi nilai-nilai olahraga melalui pendidikan jasmani dan olahraga(penjasor) dalam rangka mendukung prestasi olahraga.

Kata kunci: prestasi olahraga nasional, pendidikan jasmani dan olahraga, internalisasi  nilai-nilai olahraga

A.   Pendahuluan
Olah raga memiliki potensi untuk membangun karakter bangsa dengan amat baik namun disisi lain juga menimbulkan dampak yang tidak diinginkan sehingga meresahkan masyarakat. Nilai kompetitif dalam olahraga sering membuat orang melakukan perilaku yang kurang terpuji. Yang terjadi belakangan ini media massa dan media sosial lebih menonjolkan sisi-sisi negatif yang terjadi dalam pertandingan olahraga sehingga cenderung menciptakan keresahan.
Insiden memalukan yang disoroti oleh media nasional maupun internasional  terjadi pada laga PSS Sleman kontra PSIS Semarang di kompetisi Divisi Utama benar-benar mencoreng nama Indonesia di muka dunia. Media-media asing kini ramai mempublikasikan pertandingan Sepak Bola Gajah tersebut. Insiden memalukan tersebut terjadi pada Minggu 26 Oktober 2014, saat PSS Sleman menjamu PSIS Semarang pada laga pamungkas Grup N babak 8 besar Divisi Utama di Stadion Kompleks Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Dalam laga tersebut, kedua tim menciptakan lima gol yang kesemuanya terjadi lewat bunuh diri. Mereka diduga sengaja melakukan tindakan yang mencoreng nilai sportivitas tersebut lantaran ingin menghindari Borneo FC yang digadang-gadang sebagai tim terkuat di Divisi Utama (Metronews, Jakarta, 29 Oktober 2014).
Insiden di atas hanyalah satu contoh dari sejumlah insiden olahraga yang terjadi di Indonesia. Sederetan distorsi olahraga terjadi akibat  kurangnya implementasi nilai-nilai olahraga sangat memprihatinkan. Nilai-nilai olahraga seperti antusis, sportivitas, tanggungjawab, peduli, jujur, fair play, disiplin, kerjasama merupakan indikator luhur yang dapat melahirkan prestasi yang diiringi sikap-sikap dan mental yang baik pula. Jika semua itu diterapkan maka pelaku olahraga akan menjadi figur panutan, menang dengan sportif, menang dengan jujur, menang dengan keunggulan, dan dapat menerima kekalahan dengan terhormat. Semua nilai-nilai olahraga tersebut harus diterapkan oleh pelaku olahraga namun dalam kenyataan masih jauh dari harapan.
Distorsi olahraga yang terjadi telah mengakibatkan prestasi olahraga Indonesia semakin terpuruk. Oleh karena itu, Indonesia pada saat ini membutuhkan olahragawan yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh, penuh percaya diri, berani bertindak, dalam mengambil prakarsa, sehat, berkemampuan jasmani yang optimal, memiliki pikiran dan tindakan untuk setiap saat berjuang dalam mewujudkan prestasi olahraga yang tinggi. Siedentop (1994: 128) menjelaskan bahwa olahraga adalah panggung tempat proses pembelajaran gerak yang merupakan salah satu dimensi perilaku yang sangat penting, karena berkaitan dengan aktivitas manusia setiap hari, bersifat alamiah, nyata dan juga logis serta merangkum tidak hanya peristiwa jasmaniah semata, namun juga proses moral, mental dan sosial.
Begitu pentingnya nilai-nilai olahraga maka banyak pihak menaruh harapan ke­pada pendidikan jasmani, meskipun dengan pendidikan jasmani memang tidak serta merta sejumlah persoalan di atas akan terselesaikan, akan tetapi melalui pendidikan jasmani banyak hal yang bisa diajarkan. Misalnya, terkait dengan nilai antusis, sportivitas, tanggungjawab, peduli, jujur, fair play, disiplin, kerjasama yang kesemuanya me­rupakan prasarat dasar mewujudkan masyarakat madani (civil society). Melalui pendidikan jasmani nilai-nilai olahraga tersebut dapat diinternalisasikan secara nyata dalam praktek sehari-hari. 

B.   Pembahasan
1.    Nilai-nilai Esensial dalam Olahraga
Nilai-nilai olahraga sangatlah penting untuk dihormati dan diterapkan seperti diungkapkan oleh Coubertain(dalam buku The Olympic Games XIX: 2002): "the important thing in life is not victory, but the fight; the main thing is not to have won, but to have fought well." Ungkapan yang disampaikan dalam pidato pembukaan Olympic Games XIX tahun 2002 ini mengandung makna bahwa kemenangan itu bukanlah merupakan tujuan utama dalam kehidupan, namun yang terpenting adalah berjuang untuk mencapai kemenangan dengan baik. Perjuangan mencapai kemenangan dengan cara yang baik harus menerapkan nilai-nilai olahraga yang amat luhur.
Coubertin(dalam buku The Olympic Games XIX: 2002) mengungkapkan ”the fundamental values of Olympism have the same meaning for every human being hoping to fulfil their ambitions to build a better world. Those values are the search for excellence, fairplay, the joy of effort, respect for others and harmony between body and mind”. Nilai-nilai fundamental dalam Olympic Games memiliki makna yang sama bagi semua orang yang mengharapkan ambisi yang sama untuk membangun dunia menjadi baik. Nilai-nilai tersebut meliputi mencari keunggulan, fairplay, kegembiraan dalam berusaha, hormat tehadap orang lain, dan keharmonisan antara tubuh dan fikiran.
Dalam buku kurikulum pendidikan jasmani Australia yang dikeluarkan oleh Commenwealth of Australia tahun 2006, pendidikan jasmani melibatkan penanaman nilai-nilai meliputi: Care and compassion,  Doing your best,  Fair go, Honesty, Integrity,  Respect, Responsibility, Understanding, Inclusion and Tolerance. Siswa dididik untuk menerapkan nilai-nilai peduli dan penuh sayang, melakukan yang terbaik, bertindak adil, jujur, integritas, hormat, tanggungjawab, pengertian, inklusi dan toleransi. Satu nilai yang jarang dijumpai di negara lain yaitu nilai inklusi. Nilai inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka; mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya. Nilai inklusi dalam pendidikan jasmani menekankan bahwa semua orang berhak melakukan aktivitas olahraga baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat dengan rasa aman dan nyaman. Sekolah harus memberikan fasilitas yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan bagi siswa tanpa terkecuali dan merangkul setiap perbedaan.
Dalam Olympic Games ada tiga nilai olahraga fundamental yang difokuskan yaitu: excellence, friendship, and respect (keunggulan, persahabatan, dan respek). Excellence(keunggulan) menggambarkan kualitas usaha untuk mencapai prestasi. Hal ini juga mengandung harapan bahwa atlet harus mandiri, seperti yang tersurat dalam moto Olimpade yaitu  Citius, Altius, Fortius (Faster, Higher, Stronger) atau lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Nilai keunggulan mengacu pada  perjuangan untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan, sebagai individu dan sebagai kelompok kerja menuju tujuan bersama. Dalam mengejar dan mengukur  keunggulan, atlet secara alami akan membandingkan upaya mereka untuk orang lain. Tapi barometer utama keunggulan adalah pencapaian tujuan pribadi seseorang.
Friendship(persahabatan) Nilai persahabatan penting dalam tradisi Olimpiade kuno dan merujuk untuk membangun dunia yang damai dan lebih baik melalui olahraga. Para atlet mengungkapkan nilai ini dengan membentuk ikatan seumur hidup dengan rekan tim mereka, serta lawan-lawan mereka. Nilai persahabatan bersifat humanistik  yang bertujuan memberikan bantuan kemanusiaan, mengembangkan program budaya dan pendidikan, dan mendorong dialog terbuka pada olahraga dan perdamaian.
Respect(respek) adalah moral yang mendasari olahraga dan prinsip etika yang harus menginspirasi semua orang yang berpartisipasi. Nilai universal hormat mengacu menghormati untuk diri kita sendiri, satu sama lain, untuk aturan, untuk fair play dan bagi lingkungan.
Lickona dalam karyanya Educating for Character (1992) menyatakan bahwa individu dikatakan berkarakter apabila memiliki tiga komponen kakarter yaitu moral knowing(pengetahuan moral),  moral feeling(perasaan tentang moral), dan moral action(perbuatan bermoral). Ketiga komponen ini sangat penting, dan satu sama lain tidak terpisahkan dalam membentuk watak dan melaksanakan kebajikan. Lebih rinci Rusli Lutan (2001: 82) menjelaskan bahwa pada komponen pengetahuan moral terdapat unsur kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai moral, perhitungan ke depan, pertimbangan moral, dan pembuatan keputusan. Komponen perasaan moral meliputi kesadaran hati nurani, self-esteem, empati, kecintaan terhadap yang baik, pengendalian diri. Sedangkan tindakan moral adalah kompetensi, kemauan, dan kebiasaan. Seseorang dikatakan berkarakter baik, apabila ketiga komponen tersebut telah menyatu, melekat, dan saling mempengaruhi.  Namun tidak berarti bahwa individu yang telah mengetahui kebaikan dan keburukan otomatis berbuat baik, dan tidaklah pula berarti bahwa dia mampu berempati atau mengendalikan diri untuk melakukan tindakan moral. Tidak cukup dengan itu, maka karakter yang baik harus diajarkan melalui proses pendidikan, pemodelan dan pembiasaan yang secara terus menerus dan sistematis. Dalam olahraga proses pebentukan karakter tersebut terkait dengan istilah empat kebajikan yaitu: compassion, fairness, sportpersonship, dan integrity.     
Aktivitas olahraga sungguh syarat dengan nilai-nilai pendidikan seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan tanggung jawab. Bahkan, ada ungkapan yang sudah menjadi keyakinan sejarah dari waktu ke waktu: Sport builds character (Maksum, 2005; 2002). Ungkapan sport builds character menekankan pentingnya olahraga sebagai media pembentukan karakter. Selanjutnya Maksum menjelaskan indikator nilai-nilai olahraga seperti pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Indikator Nilai-nilai Olahraga
Nilai Moral
Praktek dalam Olahraga
Praktek dalam Kehidupan
Respek
Hormat pada aturan main dan tradisi Hormat pada lawan dan offisial Hormat pada kemenangan dan kekalahan
Hormat pada orang lain
Hormat pada hak milik orang lain Hormat pada lingkungan dan dirinya
Tanggung jawab
Kesiapan diri melakukan sesuatu Disiplin dalam latihan dan bertanding Kooperatif dengan sesama pemain
Memenuhi kewajiban
Dapat dipercaya
Pengendalian diri
Peduli
Membantu teman agar bermain baik Membantu teman yang bermasalah Murah pujian, kikir kritik Bermain untuk tim, bukan diri sendiri
Menaruh empati
Pemaaf
Mendahulukan kepentingan yang lebih besar
Jujur
Patuh pada aturan main Loyal pada tim Mengakui kesalahan
Memiliki integritas
Terpercaya Melakukan sesuatu dengan baik
Fair
Adil pada semua pemain termasuk yang berbeda Memberikan kesempatan kepada pemain lain
Mengikuti aturan
Toleran pada orang lain
Kesediaan berbagi
Tidak mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain
Beradab
Menjadi contoh/model Mendorong perilaku baik Berusaha meraih keunggulan
Mematuhi hukum dan aturan
Terdidik Bermanfaat bagi orang lain
Sumber : Maksum (2005)
     Maksum menjelaskan makna ke enam nilai tersebut sebagai berikut:
a.    Respek adalah suatu sikap yang me­naruh perhatian kepada orang lain dan memperlakukannya secara hormat. Si­kap respek antara lain dicirikan dengan memperlakukan orang lain sebagai­mana individu ingin diperlakukan; ber­bicara dengan sopan kepada siapa pun; menghormati aturan yang ada dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
b.    Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memberikan respons, tanggapan, atau reaksi secara cakap. Tanggung ja­wab dicirikan antara lain dengan me­lakukan apa yang telah disepakati de­ngan sungguh-sungguh; mengakui ke­salahan yang dilakukan tanpa alasan; memberikan yang terbaik atas apa yang dilakukan.
c.    Peduli adalah kesediaan untuk mem­berikan perhatian dan kasih sayang ke­pada sesama. Peduli antara lain ditan­dai dengan memperlakukan orang lain, diri, dan sesuatu dengan kasih sayang; memperhatikan dan mendengarkan orang lain secara seksama; menangani sesuatu dengan hati-hati.
d.     Jujur adalah suatu sikap terbuka, dapat dipercaya, dan apa adanya. Sikap jujur antara lain ditandai dengan me­ngatakan apa adanya; menepati janji; mengakui kesalahan; menolak ber­bohong, menipu, dan mencuri.
e.    Fair adalah bersikap adil dalam me­lakukan dan memperlakukan sesuatu. Sikap fair antara lain ditandai dengan menegakkan hak sesama termasuk diri­nya; mau menerima kesalahan dan me­nanggung resikonya; menolak berpra­sangka.
f.     Beradab adalah sikap dasar yang di­perlukan dalam bermasyarakat yang berintikan pada kesopanan, keteratur­an, dan kebaikan. Beradab antara lain dicirikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya; mengapresiasi ter­hadap keteraturan.
      Dari penjelasan di atas nyata bahwa nilai-nilai olahraga bersifat universal sehingga harus dimiliki oleh semua pelaku olahraga baik atlet, ofisial, maupun semua stake holders yang terlibat dalam kegiatan olahraga. Begitu pentingnya nilai-nilai ini di mata dunia namun dalam kenyataan masih banyak pelaku olahraga yang belum memilikinya. Oleh karena itu guru pendidikan jasmani di sekolah hendaknya mengambil peran yang nyata dalam melakukan internalisasi nilai-nilai olah raga melalui proses pembelajaran.

2.    Peran Pendidikan Jasmani dalam Internalisasi Nilai-nilai Olahraga
Pendidikan jasmani olahraga sangat signifikan untuk menanamkan nilai-nilai olahraga. Proses pembelajaran pendidikan jasmani olahraga harus memperhatikan kebermaknaan dalam belajar, artinya apa yang bermakna bagi siswa menunjuk pada dunia minatnya (center of interest). Pelaksanaan pembelajaran harus mengacu pada tujuan untuk  mengembangkan potensi siswa melalui : (1) Olah hati, untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kesiapan fisik serta ketrampilan kinestetis. (Renstra Depdiknas Tahun 2005 – 2009, 2005: 15). Renstra ini menunjukkan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga (penjasor) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
Menurut Sukintaka (2004) penjasor adalah proses interaksi antara peserta didik dan lingkungan melalui aktivitas jasmani yang disusun secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya. Istilah penjasor mengandung dua makna, pertama, pendidikan untuk jasmani, kedua, pendidikan melalui aktivitas jasmani (Wuest and Bucher, 1995: 125). Pendidikan untuk jasmani lebih fokus pada pengembangan fisik dan keterampilan siswa, dengan memakai sarana cabang-cabang olahraga untuk mencapai tujuan penjas. Fungsi olahraga sebagai salah satu sarana yang dipakai untuk melaksanakan proses penjasor. Selain itu, olahraga berfungsi sebagai sarana untuk (1) penyaluran emosi, (2) penguatan identitas, (3) kontrol sosial, (4) sosialisasi, (5) agen perubahan, (6) penyaluran kata hati, dan (7) mencapai keberhasilan (Wuest and Bucher, 1995: 248-249). Dengan demikian penjasor merupakan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum.
       Selanjutnya, pendidikan melalui aktivitas jasmani bermakna bahwa dalam mencapai tujuan pendidikan sarana yang dipakai melalui aktivitas jasmani. Secara konsisten penjasor memberikan efek yang menguntungkan terhadap kesehatan jasmani dan rohani pelakunya (Kirk, Macdonald, O'Sullivan, 2006: 145). Aktivitas jasmani secara personal dapat mengontrol, meningkatkan sifat emosional yang positif, dan meminimalkan dampak yang negatif bagi pelakunya. Selanjutnya, penjasor merupakan salah satu proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan kemampuan siswa melalui aktivitas jasmani yang dipilihnya (Wuest and Bucher, 1995: 6-7). Artinya, fokus penjasor adalah pada pencapaian tujuan pendidikan secara umum, yaitu untuk membentuk sikap, kepribadian, perilaku sosial, dan intelektual siswa melalui aktivitas jasmani.
     Diharapkan melalui aktivitas jasmani dapat meningkatkan dan memperhalus keterampilan gerak, meningkatkan kebugaran jasmani dan memelihara kesehatan, memiliki pengetahuan tentang aktivitas fisik dan latihan, menanamkan sikap yang positif bahwa aktivitas jasmani dapat meningkatkan kinerja siswa. Untuk itu, penjasor sebagai bagian dari proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani harus direncanakan secara sistematik untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara neuromuskuler, organik, perseptual, kognitif, sosial, dan emosional dalam sistem pendidikan nasional (Depdiknas, 2003: 6).
     Tujuan penjasor di sekolah untuk meletakkan dan mengembangkan (1) landasan karakter melalui internalisasi nilai, (2) landasan kepribadian (cinta damai, sosial, toleransi dalam kemajemukan budaya etnis dan agama), (3) berpikir kritis, (4) sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis, (5) keterampilan gerak, teknik, strategi berbagai permainan dan olahraga, senam, aktivitas ritmik, akuatik dan pendidikan luar kelas, (6) keterampilan pengelolaan diri, pemeliharaan kebugaran jasmani dan pola hidup sehat, (7) keterampilan menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain, (8) konsep aktivitas jasmani untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat, serta (9) mengisi waktu luang yanq bersifat rekreatif (Depdiknas, 2003: 6-7).
     Penjasor memberikan kontribusi yang baik bagi kehidupan manusia terhadap organ biologik, psikomotorik, afektif, dan kognitif pelakunya. Selain itu, penjasor mampu mengembangkan pola hidup yang sehat dan aman, serta memiliki peran penting dalam mempengaruhi pola aktivitas dan kesehatan individu maupun masyarakat (Whitehead, 2001: 8). Sejalan dengan itu, maka fungsi penjasor di sekolah adalah untuk meningkatkan aspek (1) organik, (2) neuromuskuler, (3) perseptual, (4) kognitif, (5) sosial, dan (6) emosional siswa (Depdiknas, 2003: 7-9). Sebagai bagian integral dari proses pendidikan secara umum, maka hendaknya penjasor dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga yang dilakukan secara sistematis. Dari pengalaman belajar tersebut akan membina dan membentuk gaya hidup sehat dan aktif sepanjang hayat, yang pada akhirnya melalui penjasor diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang (1) dirinya dan orang lain untuk terus mengembangkan diri dan berhubungan dengan orang lain, (2) nilai-nilai sosial dan keterampilan agar efektif dalam partisipasi, (3) budaya dan mampu menilai, (4) peran dan terampil.
      Menurut Aip Syarifuddin (1992: 8-14), pendidikan jasmani dapat berperan, antara lain: (1) pembentukan tubuh yaitu dengan melakukan pendidikan jasmani yang teratur, maka organ tubuh pun akan bekerja sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya, hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan baik jasmani maupun rohani; (2) pembentukan prestasi yaitu dengan ditanamkannya pembentukan prestasi diharapkan dapat mengembangkannya serta dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kelompok di lingkungannya; (3) pembentukan sosial yaitu melalui pendidikan jasmani anak akan mendapatkan bimbingan pergaulan hidup yang sesuai dengan norma dan ketentuan dengan unsur-unsur sosial; (4) keseimbangan mental, di mana pemupukan terhadap kestabilan emosi anak akan diperoleh secara efektif melalui pengalaman langsung dalam dunia kenyataan, karena mereka terjun langsung di lapangan dalam suasana yang penuh rangsangan; (5) meningkatkan kecepatan proses berpikir di mana dalam pendidikan jasmani anak dituntut untuk memiliki daya sensitifitas yang tinggi terhadap situasi yang dihadapinya. Mereka dituntut untuk memiliki kecepatan dalam proses berpikir dan kemampuan pengambilan keputusan dengan cepat dan tepat agar tidak tertinggal dengan lawannya; (6) pembentukan kepribadian anak di mana pendidikan jasmani berperan sebagai sarana untuk membentuk dan mengembangkan sifat-sifat kepribadian anak secara positif.
3.    Strategi Internalisasi Nilai Olah Raga melalui Pembelajaran
Internalisasi nilai-nilai olahraga melalui pembelajaran dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a.    Menyusun Peraturan Kelas Olahraga(Sport Class Rules)
     Pada awal tahun ajaran baru siswa diminta menyusun peraturan kelas. Peraturan kelas merupakan sarana untuk bagi siswa juga untuk menciptakan kelas yang kondusif dan tertib. Peraturan tidak hanya dipatuhi oleh siswa namun para guru juga harus memiliki peraturan tersebut. Oleh karena itu, peraturan harus dibuat dan disepakati bersama oleh siswa dan guru.
     Sebelum menyusun peraturan kelas siswa diminta berdiskusi untuk menentukan nilai-nilai olahraga yang harus disepakati bersama. Nilai-nilai olahraga dimasukkan dalam peraturan kelas dengan rumusan kalimat yang baik dan komunikatif. Siswa diminta menuangkan peraturan kelas olahraga ke dalam poster yang ditulis dan didekorasi secara indah. Siswa selanjutnya menempelkan poster tersebut dan membaca bersama. Secara periodik guru mengingatkan siswa untuk selalu mentaati peraturan kelas tersebut.
     Prinsip-prinsip penting dalam membuat peraturan kelas diantaranya:
1)    Peraturan hendaknya ditulis dengan kalimat yang positif.
Kalimat positif misalnya “Siswa wajib mematuhi aturan” lebih baik daripada kalimat negatif “siswa dilarang melanggar aturan”.
2)    Peraturan disusun secara efektif.
Kalimat disusun secara efektif, hindarkan kalimat yang bertele-tele.
3)    Peraturan harus memuat konsekuensi dan sanksi.
Peraturan tanpa sanksi biasanya kurang efektif, namun sanksi haruslah bersifat positif dan tidak boleh sanksi fisik.
      Penyusunan peraturan kelas mendorong individu siswa mengembangkan nilai-nilai olahraga yang baik. Guru pendidikan jasmani berperan sebagai motivator untuk  menciptakan situasi dan menginspirasi peserta didik untuk menampilkan perilaku moral dan memberikan teladan dalam menerapkan nilai-nilai olahraga. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Willian Arthur “A mediocre teacher tells, a good teacher explains, a superior teacher demonstrates, and the great teacher inspires.” (https://www.goodreads.com/author/quotes/416931.William_Arthur_Ward). Seorang guru biasa-biasa saja mengatakan, seorang guru yang baik menjelaskan, guru yang unggul menunjukkan, dan guru besar menginspirasi.
     Penyusunan peraturan kelas juga melatih siswa untuk mengambil keputusan. Keterlibatan siswa secara aktif dan partisipatif akan menciptakan pembelajaran yang efektif. Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan kelas tersebut siswa akan mendapatkan pengalaman untuk mengevaluasi diri maupun teman sebaya.
b.    Internalisasi Nilai-nilai Olahraga melalui Diskusi
Secara sederhana pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut:
1)    Deskripsi materi pembelajaran:
Menginvestigasi dan mengidentifikasi nilai-nilai olahraga. Siswa menginvestigasi dan mengidentifikasi nilai-nilai olahraga dan merefleksikan pengalaman mereka:
§  Siswa akan merefleksikan praktek olahraga secara umum dan pribadi
§  Siswa akan menyusun daftar nilai-nilai olahraga.
§  Siswa akan berpartisipasi dalam permainan dan merenungkan sejauh mana mereka telah menerapkan nilai-nilai tersebut.
2)    Diskusi kelas:
Guru menyajikan video, siswa berdiskusi secara interaktif dan mengungkapkan pendapat mereka tentang hal yang mereka temukan dalam video. Melalui diskusi siswa dapat mengidentifikasi perilaku pelaku olahraga yang tidak baik dan mengungkapkan perliku yang baik yang seharusnya dilakukan. Bermacam-macam video dapat ditayangkan misalnya:
§  tentang seorang pemain tenis berteriak karena menang dan melemparkan raket
§  tentang sepak bola gajah
§  tentang pemain yang menggunakan obat
3)    Internalisasi Nilai-nilai Olahraga melalui Pembiasaan
Pembiasaan merupakan strategi yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai olahraga, misalnya: berjabat tangan dengan lawan main sebelum dan setelah bertanding, peduli kepada teman yang ingin mempelajari keterampilan olahraga tertentu dengan cara memberikan mentoring, bekerjasama untuk mencapai tujuan (goal), bermain dengan berpegang pada aturan, menghormati keputusan wasit, dan sebagainya
4)    Integrasi Nilai-nilai Olahraga melalui Materi Pembelajaran
Penanaman nilai-nilai olahraga harus diterapkan melalui praktek sehari-hari, misalnya seperti pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Contoh Strategi Internalisasi Nilai-nilai Olahraga dalam Materi Pembelajaran
Materi
Strategi
o     Mempraktikkan berbagai keterampilan permainan olahraga dengan teknik  dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

o   Mempraktikkan keterampilan teknik bermain salah satu permainan olahraga bola besar secara sederhana  serta nilai kerjasama, kejujuran, menghargai, semangat dan percaya diri
o   Mempraktikkan   keterampilan  teknik bermain salah satu permainan olahraga bola kecil secara sederhana  serta nilai kerjasama, kejujuran, menghargai, kerja keras dan percaya diri
o   Mempraktikkan keterampilan teknik salah satu nomor atletik dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi  serta nilai kerjasama, kejujuran, kerja keras dan percaya diri



Materi
Strategi
o     Mempraktikkan aktivitas ritmik menggunakan alat dengan koordinasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
o   Mempraktikan keterampilan aktivitas ritmik tanpa alat dengan koordinasi gerak lanjutan serta nilai kedisiplinan, konsentrasi dan keluwesan, dan estetika
o     Mempraktikkan salah satu gaya renang   dan loncat indah  dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
o   Mempraktikkan keterampilan salah satu gaya renang untuk pertolongan serta nilai disiplin, keberanian, kerja sama, dan kerja keras.
o     Mempraktikkan keterampilan permainan olahraga dengan peraturan yang sebenarnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

o   Mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan olahraga bola besar lanjutan dengan peraturan yang sebenarnya  serta nilai kerjasama, kejujuran, menerima kekalahan, kerja keras dan percaya diri
o   Mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan olahraga bola kecil lanjutan dengan peraturan sebenarya  serta nilai kerjasama, , kejujuran, menerima kekalahan  kerja keras dan percaya diri
o   Mempraktikkan keterampilan atletik lanjutan dengan menggunakan peraturan yang sebenarnya  serta nilai kerjasama, kejujuran, menerima kekalahan,kerja keras dan percaya diri
o   Mempraktikkan keterampilan bela diri lanjutan secara berpasangan dengan menggunakan peraturan yang sebenarnya  serta nilai kerjasama, kejujuran, menerima kekalahan kerja keras dan percaya diri

5)    Internalisasi Nilai-nilai Olahraga melalui Keteladanan
   Guru harus memberikan keteladanan atau model perilaku moral. Guru adalah role-model yang menunjukkan peri­laku yang memiliki dampak yang lebih kuat dari pada berkata­ kata tentang moral. Ada pepatah “satu tindakan lebih baik dari seribu kata.”


C.   Kesimpulan
     Belakangan ini prestasi olahraga nasional semain terpuruk. Keterpurukan prestasi ini diperburuk dengan berbagai krisis dan distorsi olahraga yang terjadi. Krisis dan distorsi olahraga terjadi akibat kurangnya penerapan nilai-nilai olahraga oleh pelaku olahraga. Untuk mengatasi hal ini maka perlu dikuatkan lagi penanaman nilai-nilai olahraga bagi pelaku olahraga nasional.
      Pendidikan jasmani olahraga mempunyai peran yang sangat penting untuk pelaksanaan internalisasi nilai-nilai olahraga. Internalisasi nilai-nilai olahraga dapat dilakukan melalui beberapa strategi antara lain : a.      Menyusun Peraturan Kelas Olahraga(Sport Class Rules), 2)           Diskusi kelas penyusunan peraturan kelas, 3) Internalisasi Nilai-nilai Olahraga melalui Pembiasaan, 4)          Integrasi Nilai-nilai Olahraga melalui Materi Pembelajaran, 5) Internalisasi Nilai-nilai Olahraga melalui Keteladanan.
     Keberhasilan internalisasi nilai-nilai olahraga untuk membentuk karakter siswa sangat tergantung pada peran guru. Semoga melalui kontribusi guru dalam internalisasi nilai-nilai olahraga prestasi olah raga nasional akan meningkat bahkan bisa muncul di permukaan internasional.

Daftar Pustaka
Ary Ginanjar. (2008)! "Pembentukan Habit menerapkan Nilai-nilai religius, Sosial, dan Akademik", 29 -31 Juli 2008. Semiloka Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY

Aip Syarifuddin dan Muhadi. (1992). Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta: Depdikbud.
Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books
Merie Helen. 2002. The Olympic Games. Salt Lake City: Departement of Communication.
Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga: Teori dan Aplikasi. Surabaya: Fa­kultas Ilmu Keolahragaan Uni­versitas Negeri Surabaya.
Maksum, A. 2005. “Olahraga Memben­tuk Karakter: Fakta atau Mitos”. Jurnal Ordik, Edisi April Vol. 3, No. 1/2005.
Maksum, A. 2002. Reaktualisasi Gagasan Baron Pierre de Coubertin dalam Konteks Olahraga Kekinian: Meng­kaji Ulang Hasil Akademi Olim­pik ke-5 di Kuala Lumpur, 1-5 April 2002.
Siedentop, D. 1994. Physical Education Introductory Analysis. New York: Wn. C. Brown Company Publiser
Renstra Depdiknas Tahun 2005 – 2009, 2005: 15).
Sukintaka. (2004). Teori Pendidikan Jasmani: FHosofi, Pembelajaran dan Masa Depan. Bandung: Penerit Nuansa.
Wuest, Deborah A., and Bucher, Charles A. (1995). Foundations of Physical Education and Sport, 12th ed. St. Louis, Missouri: Mosby-Year Book, Inc.

Whitehead, M. (2001). The Concepts of Physical Literacy. The British Journal of Teaching Physical Education, Spring 2001: 6-8.

------. 2006. Values Education for Australian Schooling: Well played! Commonwealth of Australia