Selasa, 08 Oktober 2013

BERMAIN DAN TEORI BELAJAR



BERMAIN DAN TEORI BELAJAR
Oleh : Aris Priyanto

A.       Bermain
Manusia bermain sepanjang rentang waktu hidupnya dalam setiap kebudayaan yang ada di dunia. Seperti di Indonesia ada tepuk “ame-ame”, di Meksiko ada tepuk “tortilas”. Remaja dan orang dewasa Indonesia menyukai layang-layang, orang Meksiko menyukai “loteria”, Orang Indian Timur menyukai permainan bola kaki, sementara anak-anak bermain lompat-lompat yang disetai nyanyian. Di Cina, anak-anak bertepuk tangan dalam dalam suatu perayaan sajak mereka, sementara nenek mereka bermain “mah jong”(Hoorn, et al., 1999). Dalam kegiatan bermain itu, orang tua dan anak-anak tidak hanya menikmati permainan mereka sendiri,  tetapi juga terpesona dengan permainan orang lain.
Secara filosofis manusia mempunyai ciri yang hakiki manusia sebagai makhluk bermain (Homo Ludens), Sehingga kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat diperlukan oleh setiap manusia tanpa memandang usia manusia tersebut. Khususnya untuk anak­-anak kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat sangat penting, sebab melalui kegiatan bermain potensi yang dimiliki oleh anak dapat tergali secara optimal. Keinginan bermain timbul karena minat pada diri seseorang untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan, memelihara kondisi tubuh serta untuk menghilangkan kejenuhan. Bermain merupakan kegiatan yang penuh daya hayal, penuh aktivitas, dan anak-anak melakukannya dengan cara mereka sendiri menggunakan tangan dan tubuh mereka.




  1. Pengertian Bermain

Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai bermain, Hurlock dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008 : 1) mengemukakan bahwa bermain adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar suatu kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar. Plato, Aristoteles, Frobel dalam Mayke S. (2007: 2) menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak.
Berdasarkan pendapat dari beberapa para ahli tentang definisi bermain, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan suatu kegiatan yang dapat merangsang kreativitas serta daya fikir anak secara optimal tanpa anak tersebut merasa terpaksa untuk melakukannya. Kegiatan bermain untuk bagi anak-anak dapat memberi pelajaran atau pengalaman bagaimana beradaptasi baik itu dengan lingkungan, orang lain, maupun dengan dirinya sendiri. Dalam kegiatan bermain anak-anak tidak sungguh-­sungguh, melainkan bertindak sesuai perannya, akan tetapi walaupun demikian bermain merupakan suatu hal yang serius bagi mereka.

2.      Ciri-ciri Bermain
 Kegiatan bermain mengandung unsur: (1) menyenangkan dan menggembirakan bagi anak; anak menikmati kegiatan bermain tersebut; mereka tampak riang dan senang; (2) dorongan bermain bermain muncul dari anak bukan paksaan orang lain; (3) anak melakukan secara spontan dan suka rela; anak tidak merasa diwajibkan; (4) semua anak ikut serta secara bersama-sama sesuai peran masing-masing; (5) anak berlaku pura-pura, atau memerankan sesuatu; anak pura-pura marah atau menangis; (6) anak menetapkan aturan main sendiri, baik aturan yang diadopsi dari orang lain maupun aturan yang baru; aturan main itu dipatuhi oleh semua peserta bermain; (7) anak berlaku aktif; mereka melompat atau menggerakan tubuh, tangan dan  tidak sekedar melihat; (8) anak bebas memilih mau bermain apa dan beralih ke kegiatan bermain lain; bermain bersifat fleksibel.
  Berikut ini merupakan ciri-ciri bermain yang ditampilkan secara visual.
Rounded Rectangle: Anak-anak terlibat aktif bersama - sama                                   
Rounded Rectangle: Spontan dan sukarelaRounded Rectangle: Menyenangkan & menggembirakan                                   
 











Gambar 1. Ciri-ciri bermain

3. Mengapa Anak Perlu Bermain?
Bermain sangat penting bagi anak. Penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Para ahli sepakat, anak-anak harus bermain agar mereka dapat mencapai perkembangan yang optimal. Tanpa bermain, anak akan bermasalah di kemudian hari. Herbert Spencer (Catron & Allen, 1999) menyatakan bahwa anak bermain karena mempunyai energi lebih. Energi ini mendorong mereka untuk melakukan aktivitas sehingga mereka terbebas dari perasaan tertekan.
                                                                                                                                                                                             Sementara menurut Moritz Lazarus, anak bermain karena mereka memerlukan penyegaran kembali atau mengembalikan energi yang habis digunakan untuk kegiatan rutin sehari-hari. Lebih lanjut menurut Karl Groos, anak bermain karena anak perlu belajar merespon dan belajar peran-peran tertentu dalam kehidupan; peran dokter, tentara, pedagang. Anak juga karena mereka perlu melepaskan desakan  emosional secara tepat (Freud, 1958 dalam Isenberg & Jalongo, 1993).
Anak dapat mengembangkan rasa harga diri melalui bermain, karena dengan bermain anak memperoleh kemampuan untuk menguwasai tubuh mereka, benda-benda, dan ketrampilan sosial (Erikson, 1963). Anak bermain karena mereka berinteraksi pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak berfikir dan menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan pengalaman langsung dalam interaksi sosial agar mereka memperoleh dasar kehidupan sosial. Mengapa Anak Perlu Bermain?, Anak punya energi lebih yang harus disalurkan, Melalui bermain anak mendapat pengalaman langsung guna memperoleh dasar kehidupan sosial, Anak perlu melepaskan desakan emosional secara tepat, Anak perlu menyegarkan diri dari rutinitas hidup sehari-hari, Anak merasa punya harga diri karena mampu menguasai tubuh, gerakan, ketrampilan sosial, Melalui bermain itu anak belajar tahu dan menyelesaikan masalah, Anak perlu berinteraksi untuk mengkreasikan pengetahuan mereka.
4.  Bermain untuk Mengembangkan aspek Perkembangan Anak
Bermain merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam periode perkembangan diri anak, meliputi dunia fisik, social, system komunikasi. Pendek kata, bermain berkaitan erat dengan pertumbuhan anak (Gervey, 1990). Kegiatan bermain mempengaruhi perkembangan keenam aspek perkembangan anak, yakni aspek kesadaran diri (personal awareness), emosional, sosial, komunikasi, kognisi, dan ketrampilan motorik (Catron & Allen, 1999).
Beberapa ahli, pengikut Vygotsky, yakin bahwa bermain mempengaruhi perkembangan anak melalui tiga cara. Pertama, bermain menciptakan zone of proximal developmental (ZPD) anak, yakni wilayah yang menghubungkan antara kemampuan aktual anak dan kemampuan potensi anak. Saat bermain, anak melakukan sesuatu yang melebihi usianya dan tingkah laku mereka sehari-hari. Bermain dapat diibaratkan sebagai kaca pembesar (magnifiying glass), yang berisi semua kecenderungan perkembangan.
Kedua, bermain memfasilitasi separasi (pemisahan) pikiran dari obyek dan aksi. Di dalam bermain, anak lebih menuruti apa yang ada dalam pikiranya dari pada yang ada dalam realita. Karena bermain memerlukan penggantian suatu obyek dengan yang lain, anak-anak mulai memisahkan makna atau ide suatu obyek dengan obyek itu sendiri (Berk, 1994).
Ketiga, bermain mengembangkan penguwasaan diri. Di dalam bermain, anak tidak bisa  bertindak sembarangan. Anak meski bertindak sesuai skenario. Anak yang bertindak sebagai bayi, misalnya, harus menirukan tangis bayi dan berhenti ketika “sang ayah” membujuknya. Kegiatan menangis merupakan tingkah laku yang disengaja yang menggunakan fungsi mental yang yang lebih tinggi. Ini menunjukan bahwa anak dapat menguwasai tingkah laku mereka. Bermain memerlukan kesadaran dan kontrol yang lebih signifikan dari konteks lain. Hal ini memungkinkan suatu ZPD untuk perkembangan fungsi mental yang lebih tinggi.
a.       Bermain untuk Perkembangan Kognitif Anak
(1)    Bermain membantu anak membangun konsep dan pengetahuan. Anak-anak tidak membangun konsep atau pengetahuan dalam kondisi yang terisolasi, melainkan melalui interaksi dengan orang lain. Contoh di sekolah.
(2)    Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan berfikir abstrak. Proses ini terjadi ketika anak bermain peran dan bermain pura-pura.
(3)    Bermain mendorong anak untuk berfikir kreatif. Bermain mendukung tumbuhnya pikiran kreatif, karena di dalam bermain anak memilih sendiri kegiatan yang mereka sukai, belajar membuat identifikasi tentang banyak hal, belajar menikmati proses sebuah kegiatan, belajar mengontrol diri mereka sendiri,dan belajar mengenali makna makna sosialisasi dan keberadaan diri di antara teman sebaya.
b.      Bermain untuk Pengembangan Kesadaran Diri
Bermain mendorong perkembangan kesadaran diri melalui cara-cara berikut.
(1)    Bermain mengembangkan kemampuan bantu-diri (self-help).
(2)    Bermain memungkinkan anak bereksperimen dengan aturan nonstereotip
(3)    Bermain memberikan pelajaran tentang keselamatan dan kesehatan diri
(4)    Bermain mengembangkan kemampuan anak membuat keputusan mandiri
c.       Bermain untuk Pengembangan Sosio-Emosional
(1)    Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan mengorganisasi       dan menyelesaikan masalah          
(2)    Bermain meningkatkan kompetensi social anak.
Menurut Catron dan Allen (1999), bermain mendukung perkembangan sosialisasi dalam hal-hal berikut ini.
.      interaksi social, yakni interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan memecahkan konflik
.      kerjasama, yakni interaksi saling membantu, berbagi, dan pola pergiliran
.       menghemat sumber daya, yakni menggunakan dan menjaga   benda-benda dan lingkungan secara tepat
.      peduli terhadap orang lain, seperti memahami dan menerima perbedaan individu, memahami masalah multibudaya.
(3) Bermain membantu anak mengekspresikan dan mengurangi rasa takut
(4) Bermain membantu anak menguasai konflik dan trauma sosial
(5) Bermain membantu anak mengenali diri mereka sendiri

  1. Bermain untuk Pengembangan Motorik

(1)    Bermain membantu anak mengontrol gerak motorik kasar anak.

(2)    Bermain membantu anak menguwasai ketrampilan motorik halus



  1. Bermain untuk Pengembangan Bahasa/komunikasi
(1)    Bermain membantu anak meningkatakan kemampuan berkomunikasi
(2)    Bermain menyediakan konteks yang aman dan memotivasi belajar bahasa kedua
B.        Belajar
Setelah mengetahui seluk-beluk bermain dan manfaatnya, perlu kita pahami hakekat belajar anak dan pandangan para ahli tentang karakteristik belajar anak. Selain itu, konsep bermain dan belajar tidak perlu dipertentangkan, karena bagi anak-anak, belajar dapat dilakukan dengan bermain. Anak-anak juga orang dewasa, belajar dan bermain sepanjang waktu, sepanjang rentang kehidupannya.
1.  Pengertian Belajar
Sri Rumini, dkk (1993: 59) mengemukakan, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap, baik yang diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan.
Lebih lanjut Wasty Soemanto (1998: 104) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses dasar perkembangan hidup manusia, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkahlakunya berkembang.
Menurut Sugihartono dkk (2007: 74) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku individu dengan lingkunganya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Belajar merupakan suatu perubahan dimana perubahan itu untuk memenuhi kebutuhannya yang disesuaikan dengan lingkungannya.
Menurut Reber (Dalam Sugihartono,dkk 2007: 74) mendefinisikan belajar dalam dua hal, pertama, belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Oemar Hamalik (2008: 29) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses, belajar bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan, jadi merupakan langkah-langkah atau prosedur yang harus ditempuh.
Menurut Bower &  Hilgard (1981: 11) dalam bukunya yang berjudul :

Theories of  Learning refers to the change in a subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be explained on the basis of the subject’s native response tendencies, maturation, or temporary states  (such as fatigue, drunkenness, drives, and so on ).

Hal ini mengandung pengertian bahwa belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku subjek atau tingkah laku yang potensial pada situasi yang terjadi oleh pengalaman subjek yang berulang-ulang pada situasi tersebut, perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan  pernyataan-pernyataan sementara (seperti kelelahan, mabuk, mengemudi, dan lain-lain).
Belajar dapat  diartikan sebagai suatu aktivitas yan ditunjukan oleh perubahan tingkah laku, sebagai hasil dari suatu pengalaman (Cronbach dalam Djamarah, 2002). Lebih rinci Klein (1996 via Semiawan, 2002), menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative permanent yang dihasilkan oleh pengalaman. Hal ini tidak ditentukan oleh kematangan atau kecenderungan bawaan saja. Tingkah laku yang dihasilkan dari kegiatan belajar meliputi banyak hal, mulai dari masalah pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kreasi, hingga kemampuan merasakan.
Belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Belajar dapat dilakukan melalui melihat, mendengarkan, membaca, menyentuh, membaui, bergerak, berbicara, bertindak, berinteraksi, merefleksi, dan bhkan dengan bermain. Belajar juga dilakuakan disetiap waktu, baik pagi, siang, maupun malam. Pendek kata kapan saja dan di mana saja, manusia dapat belajar.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses dari perkembangan hidup manusia, dengan belajar manusia melakukan perubahan-perubahan dalam hidupnya, aktifitas dan prestasi dalam hidup manusia merupakan hasil dari belajar. Profesi seseorang berdasarkan apa yang dipelajari, belajar merupakan suatu proses, bukan suatu hasil, karena itu belajar berlangsung secara aktif dan berkelanjutan dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan.
2.      Bagaimana Anak Belajar
            Ada beberapa teori yang menjelaskan bagaimana anak belajar. Berikut ini disajikan teori experiential learning, teori konstruktivisme, dan teori multiple intelligences. Ketiga teori tersebut dipilih karena memiliki kaitan erat satu sama yang lain, yakni belajar adalah proses aktif yang menuntut peran aktif setiap anak.
a)      Belajar Menurut Teori Experiential Learning
Anak, menurut John Dewey (dalam Allan & Levine, 1984), selalu ingin mengeksplotasi lingkungannya dan memperoleh manfaat dari lingkungan itu. Pada saat mengeksplotasi lingkungan itulah, anak memperoleh pengalaman yang mendalam untuk menghadapi permasalahan pribadi dan sosial. Ini merupakan hal yang problematik yang mendorong anak untuk mempergunakan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dan memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif.
Anak belajar melalui pengalaman, yang dalam pengalaman itulah anak mempraktikan  suatu metode ilmiah.
1.      Anak, sebagai pebelajar, menghadapi “pengalaman asli”, yakni keterlibatan aktif anak dalam suatu aktivitas yang menarik bagi mereka;
2.      Di dalam pengalaman ini, anak menemukan berbagai masalah yang menstimulasi mereka untuk berfikir;
3.      Anak-anak memproses informasi-informasi yang ada di sekitarnya, dan melakukan serangkaian “dugaan” untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah;
4.      Anak mengembangkan berbagai kemungkinan solusi atau alternatif yang yang mungkin dapat menyelesaikan masalah;
5.      Anak menguji alternatif –alternatif solusi tersebut dan menerapkannya pada masalah yang mereka hadapi.
Melalui pengalaman anak telah belajar memperoleh pengetahuan. Ini berarti, pengetahuan bukanlah wujud informasi yang melekat otomatis pada anak, yang diperoleh tanpa usaha. Pengetahuan merupakan suatu alat untuk menyelesaikan masalah. Kekayaan pengetahuan anak yang diperoleh melalui pengalaman itu  dipergunakan anak sebagai materi untuk menyelesaikan masalah.
b)      Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Prinsip belajar pada anak adalah bahwa mereka dapat mengerjakan sesuatu, pertama dalam suatu konteks yang terdukung dan baru kemudian dapat melakukannya secara mandiri dan dalam konteks yang berbeda-beda. Belajar menurut teori kontruktivisme merupakan suatu proses mengonstruksi pengetahuan yang terjadi dari dalam diri anak. Artinya,  pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (kognitif dan afektif).
Konsep-konsep pandangan konstruktivistik menekankan keterlibatan anak dalam proses belajar. Menurut pandangan ini, proses belajar haruslah menyenangkan bagi anak memungkinkan anak berinteraksi aktif dengan lingkungannya. Bermain merupakan media sekaligus cara yang terbaik anak untuk belajar. Dalam bermain itulah anak belajar melalui proses berbuat dan menyentuhlangsung obyek-obyek nyata. Anak tidk belajar banyak melalui interpretasi stimulus verbal (kata-kata) dari orang yang lebih dewasa.
c)      Belajar Menurut Teori Multiple Intelligences, Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan majemuk disebut dengan cara kependekan dari 8 istilah untuk kecerdasan majemuk, yakni SLIM-N-BIL. S adalah Spasial-Visual, cerdas dalam menggambar atau membayangkan ruangan. L adalah Linguistik-verbal, cerdas dalam berkata-kata atau bahasa. I adalah Interpersonal, cerdas dalam berinteraksi dengan sesama. M adalah Musikal-ritmik, cerdas dalam bernyanyi dan memainkan alat-alat musik. N adalah Naturalis, cerdas dalam berhubungan dengan alam dan isinya. B adalah Badan-Kinestetik, cerdas dalam berolahraga dan menari. I adalah Intrapersonal, cerdas dalam memahami diri atau merenung. L adalah Logis-Matematis, cerdas dalam berhitung.

C. Bermain Sambil Belajar
  1. Pengertian bermain sambil belajar.
Bermain sambil belajar merupakan sebuah slogan yang harus dimaknai sebagai suatu perspektif “satu kesatuan, yakni belajar yang dilakukan anak adalah melalui bermain. “Bermain sambil belajar” dalam arti ini tidak diartikan sebagai dua kegiatan, yakni bermain dan belajar, yang dilakukan secara bergantian tapi anak belajar melalui bermain. Artinya aktifitas-aktifitas anak lebih ditekankan pada cirri-ciri bermain. Porsi bermain tampak lebih menonjol dari pada belajar. Kegiatan belajar, dalam perspektif “belajar sambil bermain”, merupakan efek bawah sadar sehingga hasil belajar diidentikan dengan hasil pemerolehan. Melalui bermain itulah anak memperoleh berbagai kemampuan, seperti, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bersosialisasi, kemampuan memanajemen emosi, dan kemampuan berfikir logis-matematis.
  1. Hal-hal yang Dipelajari Anak Melalui Bermain
Bermain adalah dunia sekaligus sarana belajar anak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain berarti memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dengan cara-cara yang dapat dikategorikan sebagai bermain berarti telah berusaha membuat pengalaman belajar itu dirasakan dan dan dipersepsikan secara alami oleh anak yang bersangkutan sehingga menjadi bermakna baginya (Solehudin, 2000). Oleh karena anak belajar melalui bermain, maka mau tidak mau, guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang memiliki cirri-ciri bermain. Bermain, dalam kaitan ini, merupakan salah satu strategi pembelajaran.
  1. Implikasi Konsep “Bermain sambil Belajar”
Istilah bermain sambil belajar membawa implikasi bahwa guru, perlu merancang program yang memungkinkan anak belajar melalui bermain. Kegiatan bermain perlu dirancang sedemikian rupa sehingga anak tidak merasa jenuh atau frustasi. Ini berarti, kegiatan bermain harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan bermain anak.
Mengetahui perkembangan bermain anak hanyalah salah satu dari aspek menyeleksi permainan yang tepat untuk anak usia dini. Aspek-aspek lain dari desai permainan sangatlah penting untuk dipahami, terutama, ketika guru harus memilih permainan yang dapat dimainkan anak-anak di dalam kelas. Malone (dalam Hoorn,et al.,1999) menandai tiga karakteristik kritis permainan. Yaitu, adanya tantangan, fantasi, dan keingintahuan. Selain itu, guru perlu memilih alat-alat permainan dengan criteria-kriteria tertentu pula, yakni : menarik bagi anak, sesuai dengan kapasitas fisik anak, sesuai dengan perkembangan mental dan sosial anak, sesuai dengan kelompok anak-anak, dikontruksi dengan baik, tahan lama, dan aman untuk anak dalam kelompok (Bronson, 1999).





KESIMPULAN

Bermain dalam dunia anak dapat memberikan suatu   kesenangan atau pun kegembiraan, dalam bermain anak dapat bebas meluapkan emosi dan tenaga yang berlebih dalam diri anak. Adanya unsur senang, gembira dalam diri anak maka bermain dapat  digunakan sebagai salah satu alat pendidikan.
Secara filosofis manusia mempunyai ciri yang hakiki manusia sebagai makhluk bermain (Homo Ludens), Sehingga kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat diperlukan oleh setiap manusia tanpa memandang usia manusia tersebut. Khususnya untuk anak­-anak kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat sangat penting, sebab melalui kegiatan bermain potensi yang dimiliki oleh anak dapat tergali secara optimal.
Keinginan bermain timbul karena minat pada diri seseorang untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan, memelihara kondisi tubuh serta untuk menghilangkan kejenuhan. Bermain merupakan kegiatan yang penuh daya hayal, penuh aktivitas, dan anak-anak melakukannya dengan cara mereka sendiri menggunakan tangan dan tubuh mereka.










DAFTAR PUSTAKA

Association for Experiential Education. 2004. “What is Experiential Education?.
Arikunto, Suharsimi, 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Armstrong, Thomas. 1993. 7 Kinds of Smart : Identifying Developing Your Intelligences. New York : Penguin Group
Faruq, Muhyi M. 2007. 60 Permainan Kecerdasan Kinestetik. Jakarta : Grasindo
Joko Susilo M. 2006. Gaya Belajar Menjadi makin Pintar. Yogyakarta : Pinus
Munandar, Utami S.C. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah
Jakarta : PT Grasindo
Semiawan, C.R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini: Pendidikan
Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta : PT Prenhallindo
Musfiroh, Tadkirotun. 2008. Cerdas Melalui Bermain. Jakarta : PT Grasindo












Tidak ada komentar:

Posting Komentar