BERMAIN
DAN TEORI BELAJAR
Oleh : Aris
Priyanto
A.
Bermain
Manusia bermain sepanjang rentang waktu hidupnya dalam
setiap kebudayaan yang ada di dunia. Seperti di Indonesia ada tepuk “ame-ame”,
di Meksiko ada tepuk “tortilas”. Remaja dan orang dewasa Indonesia menyukai
layang-layang, orang Meksiko menyukai “loteria”, Orang Indian Timur menyukai
permainan bola kaki, sementara anak-anak bermain lompat-lompat yang disetai
nyanyian. Di Cina, anak-anak bertepuk tangan dalam dalam suatu perayaan sajak
mereka, sementara nenek mereka bermain “mah jong”(Hoorn, et al., 1999). Dalam
kegiatan bermain itu, orang tua dan anak-anak tidak hanya menikmati permainan
mereka sendiri, tetapi juga terpesona
dengan permainan orang lain.
Secara
filosofis manusia mempunyai ciri yang hakiki manusia sebagai makhluk bermain
(Homo Ludens), Sehingga kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat
diperlukan oleh setiap manusia tanpa memandang usia manusia tersebut. Khususnya
untuk anak-anak kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat sangat
penting, sebab melalui kegiatan bermain potensi yang dimiliki oleh anak dapat
tergali secara optimal. Keinginan bermain timbul karena minat pada diri
seseorang untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan, memelihara kondisi tubuh
serta untuk menghilangkan kejenuhan. Bermain merupakan kegiatan yang penuh daya
hayal, penuh aktivitas, dan anak-anak melakukannya dengan cara mereka sendiri
menggunakan tangan dan tubuh mereka.
- Pengertian Bermain
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya
mengenai bermain, Hurlock dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008 : 1) mengemukakan
bahwa bermain adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar suatu kesenangan dan
tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Kegiatan tersebut dilakukan secara suka
rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar. Plato, Aristoteles, Frobel
dalam Mayke S. (2007: 2) menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai
nilai praktis. Artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak.
Berdasarkan pendapat dari beberapa para ahli tentang definisi
bermain, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan suatu kegiatan yang dapat merangsang
kreativitas serta daya fikir anak secara optimal tanpa anak tersebut merasa terpaksa
untuk melakukannya. Kegiatan bermain untuk bagi
anak-anak dapat memberi pelajaran atau pengalaman bagaimana
beradaptasi baik itu dengan lingkungan, orang lain, maupun dengan dirinya
sendiri. Dalam kegiatan bermain anak-anak tidak sungguh-sungguh, melainkan
bertindak sesuai perannya, akan tetapi walaupun demikian bermain merupakan
suatu hal yang serius bagi mereka.
2.
Ciri-ciri Bermain
Kegiatan bermain
mengandung unsur: (1) menyenangkan dan menggembirakan bagi anak; anak menikmati
kegiatan bermain tersebut; mereka tampak riang dan senang; (2) dorongan bermain
bermain muncul dari anak bukan paksaan orang lain; (3) anak melakukan secara
spontan dan suka rela; anak tidak merasa diwajibkan; (4) semua anak ikut serta
secara bersama-sama sesuai peran masing-masing; (5) anak berlaku pura-pura,
atau memerankan sesuatu; anak pura-pura marah atau menangis; (6) anak
menetapkan aturan main sendiri, baik aturan yang diadopsi dari orang lain
maupun aturan yang baru; aturan main itu dipatuhi oleh semua peserta bermain;
(7) anak berlaku aktif; mereka melompat atau menggerakan tubuh, tangan dan tidak sekedar melihat; (8) anak bebas memilih
mau bermain apa dan beralih ke kegiatan bermain lain; bermain bersifat
fleksibel.
Berikut ini
merupakan ciri-ciri bermain yang ditampilkan secara visual.




Gambar 1. Ciri-ciri bermain Tadkiroatun Musfiroh
(2008 : 4)
3. Mengapa Anak Perlu Bermain?
Bermain sangat penting bagi anak. Penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan mereka. Para ahli sepakat, anak-anak harus bermain
agar mereka dapat mencapai perkembangan yang optimal. Tanpa bermain, anak akan
bermasalah di kemudian hari. Herbert Spencer (Catron & Allen, 1999)
menyatakan bahwa anak bermain karena mempunyai energi lebih. Energi ini
mendorong mereka untuk melakukan aktivitas sehingga mereka terbebas dari
perasaan tertekan.
Sementara
menurut Moritz Lazarus, anak bermain karena mereka memerlukan penyegaran
kembali atau mengembalikan energi yang habis digunakan untuk kegiatan rutin
sehari-hari. Lebih lanjut menurut Karl Groos, anak bermain karena anak perlu
belajar merespon dan belajar peran-peran tertentu dalam kehidupan; peran
dokter, tentara, pedagang. Anak juga karena mereka perlu melepaskan
desakan emosional secara tepat (Freud,
1958 dalam Isenberg & Jalongo, 1993).
Anak dapat mengembangkan rasa harga diri melalui
bermain, karena dengan bermain anak memperoleh kemampuan untuk menguwasai tubuh
mereka, benda-benda, dan ketrampilan sosial (Erikson, 1963). Anak bermain
karena mereka berinteraksi pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak
berfikir dan menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan
pengalaman langsung dalam interaksi sosial agar mereka memperoleh dasar
kehidupan sosial. Mengapa Anak Perlu Bermain?, Anak punya energi lebih yang
harus disalurkan, Melalui bermain anak mendapat pengalaman langsung guna
memperoleh dasar kehidupan sosial, Anak perlu melepaskan desakan emosional
secara tepat, Anak perlu menyegarkan diri dari rutinitas hidup sehari-hari,
Anak merasa punya harga diri karena mampu menguasai tubuh, gerakan, ketrampilan
sosial, Melalui bermain itu anak belajar tahu dan menyelesaikan masalah, Anak
perlu berinteraksi untuk mengkreasikan pengetahuan mereka.
4. Bermain untuk Mengembangkan aspek Perkembangan
Anak
Bermain
merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam periode perkembangan diri anak,
meliputi dunia fisik, social, system komunikasi. Pendek kata, bermain berkaitan
erat dengan pertumbuhan anak (Gervey, 1990). Kegiatan bermain mempengaruhi
perkembangan keenam aspek perkembangan anak, yakni aspek kesadaran diri (personal
awareness), emosional, sosial, komunikasi, kognisi, dan ketrampilan motorik
(Catron & Allen, 1999).
Beberapa
ahli, pengikut Vygotsky, yakin bahwa bermain mempengaruhi perkembangan anak melalui
tiga cara. Pertama, bermain menciptakan zone of proximal developmental
(ZPD) anak, yakni wilayah yang menghubungkan antara kemampuan aktual anak dan
kemampuan potensi anak. Saat bermain, anak melakukan sesuatu yang melebihi
usianya dan tingkah laku mereka sehari-hari. Bermain dapat diibaratkan sebagai
kaca pembesar (magnifiying glass), yang berisi semua kecenderungan
perkembangan.
Kedua,
bermain memfasilitasi separasi (pemisahan) pikiran dari obyek dan aksi. Di
dalam bermain, anak lebih menuruti apa yang ada dalam pikiranya dari pada yang
ada dalam realita. Karena bermain memerlukan penggantian suatu obyek dengan
yang lain, anak-anak mulai memisahkan makna atau ide suatu obyek dengan obyek
itu sendiri (Berk, 1994).
Ketiga, bermain mengembangkan penguwasaan diri. Di
dalam bermain, anak tidak bisa bertindak
sembarangan. Anak meski bertindak sesuai skenario. Anak yang bertindak sebagai
bayi, misalnya, harus menirukan tangis bayi dan berhenti ketika “sang ayah”
membujuknya. Kegiatan menangis merupakan tingkah laku yang disengaja yang
menggunakan fungsi mental yang yang lebih tinggi. Ini menunjukan bahwa anak
dapat menguwasai tingkah laku mereka. Bermain memerlukan kesadaran dan kontrol
yang lebih signifikan dari konteks lain. Hal ini memungkinkan suatu ZPD untuk
perkembangan fungsi mental yang lebih tinggi.
a. Bermain untuk Perkembangan
Kognitif Anak
(1) Bermain
membantu anak membangun konsep dan pengetahuan. Anak-anak tidak membangun
konsep atau pengetahuan dalam kondisi yang terisolasi, melainkan melalui
interaksi dengan orang lain. Contoh
di sekolah.
(2)
Bermain membantu anak mengembangkan kemampuan berfikir
abstrak. Proses ini terjadi ketika anak bermain peran dan
bermain pura-pura.
(3)
Bermain mendorong anak untuk berfikir kreatif. Bermain
mendukung tumbuhnya pikiran kreatif, karena di dalam bermain anak memilih
sendiri kegiatan yang mereka sukai, belajar membuat identifikasi tentang banyak
hal, belajar menikmati proses sebuah kegiatan, belajar mengontrol diri mereka
sendiri,dan belajar mengenali makna makna sosialisasi dan keberadaan diri di
antara teman sebaya.
b. Bermain untuk Pengembangan
Kesadaran Diri
Bermain
mendorong perkembangan kesadaran diri melalui cara-cara berikut.
(1) Bermain mengembangkan kemampuan
bantu-diri (self-help).
(2) Bermain memungkinkan anak
bereksperimen dengan aturan nonstereotip
(3)
Bermain memberikan pelajaran tentang keselamatan dan
kesehatan diri
(4) Bermain mengembangkan kemampuan
anak membuat keputusan mandiri
c. Bermain untuk Pengembangan
Sosio-Emosional
(1) Bermain membantu anak
mengembangkan kemampuan mengorganisasi
dan menyelesaikan masalah
(2) Bermain meningkatkan kompetensi
social anak.
Menurut Catron dan Allen (1999), bermain mendukung
perkembangan sosialisasi dalam hal-hal berikut ini.
. interaksi
social, yakni interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan memecahkan
konflik
. kerjasama,
yakni interaksi saling membantu, berbagi, dan pola pergiliran
. menghemat
sumber daya, yakni menggunakan dan menjaga
benda-benda dan lingkungan secara tepat
. peduli
terhadap orang lain, seperti memahami dan menerima perbedaan individu, memahami
masalah multibudaya.
(3) Bermain membantu anak mengekspresikan dan
mengurangi rasa takut
(4) Bermain membantu anak menguasai konflik dan trauma
sosial
(5) Bermain membantu anak mengenali
diri mereka sendiri
- Bermain untuk Pengembangan Motorik
(1)
Bermain membantu anak
mengontrol gerak motorik kasar anak.
(2)
Bermain membantu anak
menguwasai ketrampilan motorik halus
- Bermain untuk Pengembangan Bahasa/komunikasi
(1)
Bermain membantu anak
meningkatakan kemampuan berkomunikasi
(2)
Bermain menyediakan konteks
yang aman dan memotivasi belajar bahasa kedua
B.
Belajar
Setelah mengetahui seluk-beluk bermain dan manfaatnya,
perlu kita pahami hakekat belajar anak dan pandangan para ahli tentang
karakteristik belajar anak. Selain itu, konsep bermain dan belajar tidak perlu
dipertentangkan, karena bagi anak-anak, belajar dapat dilakukan dengan bermain.
Anak-anak juga orang dewasa, belajar dan bermain sepanjang waktu, sepanjang
rentang kehidupannya.
1. Pengertian
Belajar
Sri Rumini, dkk (1993: 59) mengemukakan, belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang relatif menetap, baik yang diamati maupun tidak dapat diamati
secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam
interaksinya dengan lingkungan.
Lebih lanjut Wasty Soemanto (1998: 104) mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu proses dasar perkembangan hidup manusia, manusia
melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkahlakunya
berkembang.
Menurut Sugihartono dkk (2007: 74) mengatakan bahwa
belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku individu dengan
lingkunganya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Belajar merupakan suatu
perubahan dimana perubahan itu untuk memenuhi kebutuhannya yang disesuaikan
dengan lingkungannya.
Menurut Reber (Dalam Sugihartono,dkk 2007: 74)
mendefinisikan belajar dalam dua hal, pertama, belajar sebagai proses
memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi
yang relatif langgeng sebagai hasil latihan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya
Oemar Hamalik (2008: 29) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses, belajar
bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan, jadi
merupakan langkah-langkah atau prosedur yang harus ditempuh.
Menurut Bower & Hilgard (1981: 11) dalam
bukunya yang berjudul :
Theories of Learning refers to the change in a
subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by
the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the
behavior change cannot be explained on the basis of the subject’s native
response tendencies, maturation, or temporary states (such as fatigue, drunkenness, drives, and so
on ).
Hal ini mengandung pengertian
bahwa belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku subjek atau tingkah laku
yang potensial pada situasi yang terjadi oleh pengalaman subjek yang
berulang-ulang pada situasi tersebut, perubahan tingkah laku tidak dapat
dijelaskan pernyataan-pernyataan
sementara (seperti kelelahan, mabuk, mengemudi, dan lain-lain).
Belajar dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yan
ditunjukan oleh perubahan tingkah laku, sebagai hasil dari suatu pengalaman
(Cronbach dalam Djamarah, 2002). Lebih rinci Klein (1996 via Semiawan, 2002),
menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative permanent
yang dihasilkan oleh pengalaman. Hal ini tidak ditentukan oleh kematangan atau kecenderungan bawaan saja.
Tingkah laku yang dihasilkan dari kegiatan belajar meliputi banyak hal, mulai
dari masalah pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kreasi, hingga kemampuan
merasakan.
Belajar dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Belajar dapat dilakukan melalui melihat, mendengarkan,
membaca, menyentuh, membaui, bergerak, berbicara, bertindak, berinteraksi,
merefleksi, dan bhkan dengan bermain. Belajar juga dilakuakan disetiap waktu,
baik pagi, siang, maupun malam. Pendek kata kapan saja dan di mana saja,
manusia dapat belajar.
Berdasarkan pendapat
dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses
dari perkembangan hidup manusia, dengan belajar manusia melakukan
perubahan-perubahan dalam hidupnya, aktifitas dan prestasi dalam hidup manusia
merupakan hasil dari belajar. Profesi seseorang berdasarkan apa yang
dipelajari, belajar merupakan suatu proses, bukan suatu hasil, karena itu
belajar berlangsung secara aktif dan berkelanjutan dengan menggunakan berbagai
bentuk perbuatan.
2.
Bagaimana Anak Belajar
Ada beberapa teori
yang menjelaskan bagaimana anak belajar. Berikut ini disajikan teori experiential
learning, teori konstruktivisme, dan teori multiple intelligences.
Ketiga teori tersebut dipilih karena memiliki kaitan erat satu sama yang lain,
yakni belajar adalah proses aktif yang menuntut peran aktif setiap anak.
a)
Belajar Menurut Teori Experiential
Learning
Anak, menurut John Dewey (dalam Allan & Levine,
1984), selalu ingin mengeksplotasi lingkungannya dan memperoleh manfaat dari
lingkungan itu. Pada saat mengeksplotasi lingkungan itulah, anak memperoleh pengalaman
yang mendalam untuk menghadapi permasalahan pribadi dan sosial. Ini merupakan
hal yang problematik yang mendorong anak untuk mempergunakan kemampuannya untuk
menyelesaikan masalah dan memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya secara
aktif.
Anak belajar melalui pengalaman, yang dalam pengalaman
itulah anak mempraktikan suatu metode
ilmiah.
1.
Anak, sebagai pebelajar,
menghadapi “pengalaman asli”, yakni keterlibatan aktif anak dalam suatu
aktivitas yang menarik bagi mereka;
2.
Di dalam pengalaman ini, anak
menemukan berbagai masalah yang menstimulasi mereka untuk berfikir;
3.
Anak-anak memproses
informasi-informasi yang ada di sekitarnya, dan melakukan serangkaian “dugaan”
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah;
4.
Anak mengembangkan berbagai
kemungkinan solusi atau alternatif yang yang mungkin dapat menyelesaikan
masalah;
5.
Anak menguji alternatif
–alternatif solusi tersebut dan menerapkannya pada masalah yang mereka hadapi.
Melalui pengalaman anak telah belajar memperoleh
pengetahuan. Ini berarti, pengetahuan bukanlah wujud informasi yang melekat
otomatis pada anak, yang diperoleh tanpa usaha. Pengetahuan merupakan suatu
alat untuk menyelesaikan masalah. Kekayaan pengetahuan anak yang diperoleh
melalui pengalaman itu dipergunakan anak
sebagai materi untuk menyelesaikan masalah.
b)
Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Prinsip belajar pada anak adalah bahwa mereka dapat
mengerjakan sesuatu, pertama dalam suatu konteks yang terdukung dan baru
kemudian dapat melakukannya secara mandiri dan dalam konteks yang berbeda-beda.
Belajar menurut teori kontruktivisme merupakan suatu proses mengonstruksi
pengetahuan yang terjadi dari dalam diri anak. Artinya, pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog
oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (kognitif dan afektif).
Konsep-konsep pandangan
konstruktivistik menekankan keterlibatan anak dalam proses belajar. Menurut
pandangan ini, proses belajar haruslah menyenangkan bagi anak memungkinkan anak
berinteraksi aktif dengan lingkungannya. Bermain merupakan media sekaligus cara
yang terbaik anak untuk belajar. Dalam bermain itulah anak belajar melalui
proses berbuat dan menyentuhlangsung obyek-obyek nyata. Anak tidk belajar
banyak melalui interpretasi stimulus verbal (kata-kata) dari orang yang lebih
dewasa. 

c) Belajar Menurut Teori Multiple
Intelligences, Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan majemuk
disebut dengan cara kependekan dari 8 istilah untuk kecerdasan majemuk, yakni
SLIM-N-BIL. S adalah Spasial-Visual, cerdas dalam
menggambar atau membayangkan ruangan. L adalah Linguistik-verbal, cerdas dalam berkata-kata atau bahasa. I adalah
Interpersonal, cerdas dalam berinteraksi dengan sesama. M adalah
Musikal-ritmik, cerdas dalam bernyanyi dan memainkan alat-alat musik. N adalah
Naturalis, cerdas dalam berhubungan dengan alam dan isinya. B adalah
Badan-Kinestetik, cerdas dalam berolahraga dan menari. I adalah Intrapersonal,
cerdas dalam memahami diri atau merenung. L adalah Logis-Matematis, cerdas
dalam berhitung.
C. Bermain Sambil Belajar
- Pengertian bermain sambil belajar.
Bermain sambil belajar merupakan sebuah slogan yang
harus dimaknai sebagai suatu perspektif “satu kesatuan, yakni belajar yang
dilakukan anak adalah melalui bermain. “Bermain sambil belajar” dalam arti ini
tidak diartikan sebagai dua kegiatan, yakni bermain dan belajar, yang dilakukan
secara bergantian tapi anak belajar melalui bermain. Artinya
aktifitas-aktifitas anak lebih ditekankan pada cirri-ciri bermain. Porsi
bermain tampak lebih menonjol dari pada belajar. Kegiatan belajar, dalam
perspektif “belajar sambil bermain”, merupakan efek bawah sadar sehingga hasil
belajar diidentikan dengan hasil pemerolehan. Melalui bermain itulah anak
memperoleh berbagai kemampuan, seperti, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
berbahasa, kemampuan bersosialisasi, kemampuan memanajemen emosi, dan kemampuan
berfikir logis-matematis.
- Hal-hal yang Dipelajari Anak Melalui Bermain
Bermain adalah dunia
sekaligus sarana belajar anak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain
berarti memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Memberikan kesempatan
kepada anak untuk belajar dengan cara-cara yang dapat dikategorikan sebagai
bermain berarti telah berusaha membuat pengalaman belajar itu dirasakan dan dan
dipersepsikan secara alami oleh anak yang bersangkutan sehingga menjadi
bermakna baginya (Solehudin, 2000). Oleh karena anak belajar melalui bermain,
maka mau tidak mau, guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang memiliki
cirri-ciri bermain. Bermain, dalam kaitan ini,
merupakan salah satu strategi pembelajaran.
- Implikasi Konsep “Bermain sambil Belajar”
Istilah bermain sambil belajar membawa implikasi bahwa
guru, perlu merancang program yang memungkinkan anak belajar melalui bermain.
Kegiatan bermain perlu dirancang sedemikian rupa sehingga anak tidak merasa
jenuh atau frustasi. Ini berarti, kegiatan bermain harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan bermain anak.
Mengetahui perkembangan bermain anak hanyalah salah satu
dari aspek menyeleksi permainan yang tepat untuk anak usia dini. Aspek-aspek
lain dari desai permainan sangatlah penting untuk dipahami, terutama, ketika
guru harus memilih permainan yang dapat dimainkan anak-anak di dalam kelas. Malone (dalam Hoorn,et al.,1999)
menandai tiga karakteristik kritis permainan. Yaitu, adanya tantangan, fantasi,
dan keingintahuan. Selain itu, guru perlu memilih alat-alat permainan dengan
criteria-kriteria tertentu pula, yakni : menarik bagi anak, sesuai dengan
kapasitas fisik anak, sesuai dengan perkembangan mental dan sosial anak, sesuai
dengan kelompok anak-anak, dikontruksi dengan baik, tahan lama, dan aman untuk
anak dalam kelompok (Bronson, 1999).
KESIMPULAN
Bermain dalam dunia anak
dapat memberikan suatu kesenangan atau
pun kegembiraan, dalam bermain anak dapat bebas meluapkan emosi dan tenaga yang
berlebih dalam diri anak. Adanya unsur senang, gembira dalam diri anak maka
bermain dapat digunakan sebagai salah
satu alat pendidikan.
Secara filosofis manusia mempunyai ciri yang hakiki
manusia sebagai makhluk bermain (Homo Ludens), Sehingga kegiatan bermain
merupakan suatu kegiatan yang sangat diperlukan oleh setiap manusia tanpa
memandang usia manusia tersebut. Khususnya untuk anak-anak kegiatan bermain
merupakan suatu kegiatan yang bersifat sangat penting, sebab melalui kegiatan
bermain potensi yang dimiliki oleh anak dapat tergali secara optimal.
Keinginan bermain timbul karena minat pada diri seseorang
untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan, memelihara kondisi tubuh serta untuk
menghilangkan kejenuhan. Bermain merupakan kegiatan yang penuh daya hayal,
penuh aktivitas, dan anak-anak melakukannya dengan cara mereka sendiri
menggunakan tangan dan tubuh mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Association for Experiential Education. 2004. “What is Experiential
Education?.
Arikunto, Suharsimi, 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Armstrong, Thomas. 1993. 7 Kinds of
Smart : Identifying Developing Your Intelligences. New York : Penguin Group
Faruq, Muhyi M. 2007. 60 Permainan Kecerdasan Kinestetik. Jakarta :
Grasindo
Joko Susilo M. 2006. Gaya Belajar Menjadi makin Pintar. Yogyakarta :
Pinus
Munandar, Utami S.C. 1992.
Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah
Jakarta : PT Grasindo
Semiawan, C.R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini:
Pendidikan
Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta : PT Prenhallindo
Musfiroh, Tadkirotun. 2008. Cerdas Melalui Bermain. Jakarta : PT Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar